Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Doakan Aku di Sana

18 Agustus 2017   06:56 Diperbarui: 19 Agustus 2017   07:59 1393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Terima kasih, Wahyu. Kamu sudah memberikan darahmu untuk Calvin."

"Sama-sama, Young Lady. Calvin sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Kebetulan golongan darahku sama dengannya."

Nyonya Calisa menggigit bibirnya. Mengapa Wahyu masih memanggilnya begitu? Tidak bisakah ia berhenti saja? Gegara panggilan sayang itu, Tuan Calvin salah paham. Namun ia tak tega melarangnya.

"Tante juga mau berterima kasih. Kamu sudah banyak membantu Calvin." Nyonya Lola mendekati Wahyu, lalu menjabat tangannya.

"Sama-sama, Tante Lola. Saya senang bisa membantu."

"Kalau bukan karena darah yang kamu berikan, Calvin tak bisa operasi. Kondisinya sangat lemah."

Di ujung koridor, Clara duduk sendirian. Ia menangis. Air mata membasahi wajahnya yang cantik. Sejak tadi, ia tak mau didekati. Berulang kali Nyonya Calisa, Nyonya Lola, dan Wahyu berusaha, tapi sia-sia saja. Anak cantik itu sangat mencemaskan Ayahnya.

Sosok Clara dan tangis kesedihannya tak luput dari perhatian Reinhart. Entah mengapa, anak lelaki berparas tampan itu trenyuh. Ia serasa ikut merasakan kesedihan dan kecemasan Clara. Pelan ia berbisik pada Papinya.

"Pap, Rein tenangin Clara dulu ya? Boleh kan?"

"Good boy. Baru aja Papi mau bilang gitu sama kamu. Sana dekati Clara. Mungkin kamu bisa buat dia nggak sedih lagi." Wahyu tersenyum, menyemangati putra kebanggaannya.

Perlahan Reinhart menghampiri Clara. Duduk di sampingnya. Menyadari kehadiran Reinhart, Clara berpaling menatapnya.

"Hei...kamu sedih ya? Kepikiran Om Calvin yang lagi dioperasi?" sapa Reinhart, hati-hati dan penuh empati.

Clara tak menjawab. Sekali-dua kali terisak. Membiarkan air mata berjatuhan tanpa berniat untuk menghapusnya.

"Rein punya lagu buat kamu. Mau dengerin nggak?"

Masih tak ada respon. Anehnya, Reinhart tetap sabar.

"Ini lagu yang diajarin Mami dan Papi."

Sejurus kemudian Reinhart berdiri di depan Clara. Ia mulai bernyanyi, ditambah gerakan dance juga.

"Twinkle, twinkle, little star,How I wonder what you are.Up above the world so high,Like a diamond in the sky.Twinkle, twinkle, little star,How I wonder what you are!

When the blazing sun is gone,When there's nothing he shines upon,Then you show your little light,Twinkle, twinkle, through the night.Twinkle, twinkle, little star,How I wonder what you are!"

Reinhart terlihat ekspresif dan menawan. Wajahnya yang tampan dihiasi senyum ceria. Tubuhnya yang lebih tinggi dari rata-rata anak seusianya bergerak lincah dalam gerakan dance yang memikat. Wahyu menatapi anaknya waswas bercampur kagum.

"Rein...keep quiet. Ini rumah sakit, Nak. Nanti Rein dimarahin suster lho kalo berisik." tegur Wahyu halus.

Semakin dilarang, justru anak-anak semakin gencar beraksi. Begitu pula Reinhart. Ia menyanyi dan menari di depan Clara tanpa mempedulikan larangan Papinya.

Melihat itu, Clara tersenyum. Ya, bibirnya bergerak membentuk senyuman manis. Apa yang dilakukan Reinhart membuatnya terhibur.

Nyonya Calisa dan Nyonya Lola merasa lega. Akhirnya Clara bisa tersenyum lagi. Ini semua karena Reinhart.

"Kamu bisa ngedance?" tanya Clara, tak dapat menyembunyikan rasa penasarannya.

"Bisa dong," jawab Reinhart bangga.

"Siapa yang ngajarin?"

"Papi sama guru di sekolah model."

"Wow...! Om Wahyu bisa dance juga?"

"Oh, jangan salah. Papi jagonya ngedance. Waktu muda dulu sering juara."

Ketertarikan Clara membuatnya sukses melupakan kesedihan. Posisi Reinhart dekat dengannya. Sehingga Clara bisa melihatnya dengan jelas.

"Ajarin Clara dance. Mau ya? Ya ya ya?" pinta Clara.

"Mau, mau banget. Tapi..." Reinhart membiarkan kalimatnya menggantung.

"Tapi apa?"

"Kamu jangan sedih lagi. Dari pada sedih, mendingan doain Om Calvin biar cepat sembuh."

Clara mengangguk setuju. "Okey. Clara nggak akan sedih lagi."

"Janji?" Reinhart mengulurkan kelingkingnya. Disambut jari kelingking Clara.

"Janji."

Wahyu, Nyonya Calisa, dan Nyonya Lola tersenyum-senyum memperhatikan tingkah kedua anak itu. Geli, gemas, dan terkesima. Anak-anak selalu kreatif dan penuh kejutan.

Gegara tingkah lucu Reinhart dan Clara, atmosfer kesedihan terangkat sudah. Mereka merasa lebih tenang dan nyaman selama menanti proses operasi.

**     

Tengah malam lewat dan berlalu. Operasi belum juga selesai. Mereka berlima masih di sana. Menunggu dengan sabar. Reinhart dan Clara menolak tawaran para orang tua untuk tidur. Mereka bertekad menunggu operasi selesai.

Penantian diisi dengan doa dan saling bertukar cerita. Mereka berharap Tuan Calvin segera melewati masa kritisnya.

Pukul dua pagi, lampu indikator padam. Operasi telah selesai. Debaran jantung mereka bertambah cepat. Bagaimanakah hasil operasinya?

Saat tim medis keluar dari ruang operasi menjadi saat yang mendebarkan. Kecemasan terukir dalam di wajah mereka.

"Operasinya berhasil. Calvin sudah melewati masa kritisnya."

Kelegaan, ya hanya kelegaan. Sedetik kemudian rasa itu berganti kebahagiaan. Nyonya Lola dan Nyonya Calisa sujud syukur saat itu juga. Wahyu menggumamkan kalimat tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir. Reinhart dan Clara berpelukan. Bahagia sekali dengan berita ini. Ada banyak cara untuk mengekspresikan rasa syukur.

**     

Hal pertama yang dilihatnya saat membuka mata sungguh indah. Orang-orang yang dicintainya berkumpul di sini. Ada Nyonya Calisa, Nyonya Lola, dan Clara. Bahkan ada Reinhart pula. Indah, ia suka itu. Mereka semua ada di dekatnya. Mendampinginya melewati masa kritis yang berat dan panjang.

"Calvin, kamu sudah sadar?" Nyonya Calisa bertanya lembut, menggenggam erat tangan Tuan Calvin.

"Calisa...semuanya sudah berakhir, kan?" lirih Tuan Calvin.

"Apa yang berakhir, Sayang?"

"Rasa sakit itu. Masa kritis itu."

Nyonya Calisa tersenyum lembut. "Sudah, Calvin. Kamu sudah melewatinya. Kamu kuat, sangat kuat."

Pujian itu menghangatkan hatinya. Ya, semuanya telah berlalu. Semoga tak perlu ada lagi rasa sakit itu.

"Mama bangga sama kamu, Sayang. Kamu kuat. Kamu tangguh. Buktinya, kamu bisa melewati semua ini." ungkap Nyonya Lola.

Tuan Calvin menatap lembut mata Mamanya. "Semua ini karena doa Mama."

Melihat Ayahnya sudah melewati masa kritis, Clara begitu bahagia. Bersama Reinhart, ia mendekat ke tepi ranjang. Ingin sekali memeluk Ayahnya. Mata Clara bertatapan dengan mata Tuan Calvvin. Cinta kasih dan kerinduan tercermin di mata mereka.

Meski kondisinya belum pulih, Tuan Calvin memaksakan tubuhnya bergerak. Dipeluknya Clara erat. Diciuminya pipi Clara. Dibelainya rambut panjang putri kecilnya. Seolah mereka telah lama terpisah.

"Ayah...I miss you." desah Clara.

"Miss you too, Dear." Tuan Calvin kembali menyentuh pipi Clara dengan bibirnya.

"Ayah jangan sakit lagi ya. Clara takut...Clara pengen Ayah sehat."

Mengharukan, seorang anak perempuan secara tak langsung memotivasi sang ayah untuk selalu sehat. Motivasi dari orang-orang yang dicintai menjadi obat segala penyakit.

Reinhart terkesan. Salut pada kedekatan ayah dan anak itu. Ekspresi wajah Reinhart tak lepas dari perhatian Tuan Calvin. Ditatapnya anak lelaki itu dengan lembut dan penuh kasih sayang. Selembut tatapannya pada Clara.

"Reinhart, terima kasih ya. Pasti kamu yang menemani Clara sejak kemarin, kan?" ujarnya.

"Iya. Rein senang kok bisa jadi teman Clara."

Mendengar itu, Tuan Calvin menepuk pelan puncak kepala Reinhart. Menit berikutnya pintu ruang rawat terbuka. Wahyu melangkah masuk dengan tergesa-gesa. Di tangannya terdapat paper bag berisi penuh makanan.

"Calvin? Alhamdulillah kamu sudah sadar," katanya, tersenyum lega. Meletakkan bawaannya di atas meja.

Sesaat Tuan Calvin menatap Wahyu. Sadar bila pria di masa lalu istrinya ini cukup baik. Nyonya Lola berkata meyakinkan.

"Wahyu memberikan darahnya untukmu, Calvin. Tanpa donor darinya, kamu takkan bisa menjalani operasi."

"Benarkah?"

Fakta ini mengejutkan. Namun Tuan Calvin percaya.

"Tante Lola, maaf. Jangan dibahas lagi. Saya ikhlas melakukannya. Saya takut riya'." Wahyu menimpali, merasa tak enak hati.

Ingatan Tuan Calvin kembali merekam perkataan terakhir Nyonya Calisa. Sebelum kondisinya drop, Nyonya Calisa berkata bahwa Wahyu bersedia mendonorkan hati untuknya. Semula ia ragu dan tak percaya. Tuan Calvin trauma mempercayai orang lain gegara syarat yang diajukan Syarif. Kini ia yakin tawaran itu tulus. Datangnya dari hati.

**     

"Calisa, sekarang Hari Jumat kan?"

"Iya, Calvin. Tapi kamu masih sakit. Masih dalam masa pemulihan."

"Aku tetap harus melakukannya, Sayang."

Wahyu menatap Nyonya Calisa tak mengerti. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan?

"Kita berbagi minggu depan saja ya? Sekarang kamu fokus dengan kesehatanmu." bujuk Nyonya Calisa.

Bukannya terbujuk, justru sebaliknya. Tuan Calvin menatapi mata wanitanya. Tatapan lembut meneduhkan. Selalu saja Nyonya Calisa dibuat luluh karenanya. Refleks ia menundukkan wajah.

"Calisa, look at me." Satu tangan Tuan Calvin mengangkat lembut dagu istrinya.

Kembali lagi mereka berpandangan. Wanita blasteran Sunda-Belanda dan pria berdarah keturunan bertemu pandang. Hati keduanya bergetar hebat. Rasanya, mereka saling jatuh cinta setiap saat. Cinta seperti inilah yang takkan memudar ditelan kejenuhan.

"Bagaimana kalau ini Jumat terakhirku?"

"Oh Calvin, please...jangan katakan itu lagi." sergah Nyonya Calisa ketakutan.

"Itu hanya pengandaian. What if..."

"Calvin, stop. Baiklah, baiklah. Kita pergi sekarang. Aku..."

"Ehem!"

Wahyu berhasil menarik perhatian mereka berdua. Tuan Calvin melepaskan tangan dari dagu Nyonya Calisa. Nyaris saja Nyonya Calisa jatuh dari kursinya. Ia lupa kalau mereka tak berdua di sini.

"Dunia serasa milik berdua ya?" komentar Wahyu, tersenyum simpul.

"Sebenarnya, apa yang kalian bicarakan? Membuatku bingung."

Nyonya Calisa pun menjelaskan tentang kebiasaan Tuan Calvin. Berbagi di Hari Jumat. Wahyu terkesan mendengarnya.

"Wow...aku mau bantu. Apa yang harus kulakukan, Calvin? Merayu dokter cantik itu agar mengizinkanmu keluar sebentar?" Wahyu merespon positif.

"Nah, cocok. Kamu bisa, kan? Rayu saja dia. Kalau tidak mempan, buatkan puisi cinta untuk dia. Seperti yang pernah kamu lakukan pada seorang suster cantik beberapa tahun yang lalu."

**    

Wahyu mengangkat tubuhnya ke mobil. Sesaat Tuan Calvin merasa bersalah. Ia telah merepotkan ayah kandung Reinhart itu. Sebaliknya, Wahyu merasa tak direpotkan. Ia lakukan semuanya dengan ikhlas dan senang hati.

Nyonya Calisa, Clara, dan Reinhart melipat kursi roda. Memasukkannya ke bagasi mobil.

Mobil meluncur mulus meninggalkan rumah sakit. Wahyu berada di balik kemudi. Hanya tertawa kecil saat mendengar ucapan terima kasih Tuan Calvin untuk kesekian kali.

"Kamu ini orang baik, Calvin. Sangat sangat baik." puji Wahyu.

"Kenapa kamu berkata begitu?" Tuan Calvin bertanya heran, alisnya terangkat.

"Orang baik tidak pernah gengsi mengucapkan terima kasih. Salah satu ciri orang baik adalah tak pernah lupa mengucapkan tiga kata ini: maaf, terima kasih, dan tolong."

"I see. Bisa saja kamu. Aku bukan orang baik, Wahyu."

"Nah itu...orang baik tidak akan merasa dirinya baik." sela Reinhart dan Clara bersamaan.

Ketiga orang dewasa itu dibuat tersenyum oleh ucapan mereka. Reinhart dan lara anak-anak yang baik dan kompak.

"Wah, mereka kompak ya. Bagaimana kalau kita jodohkan mereka saja nanti? Kamu setuju, Calvin?" usul Nyonya Calisa.

Ditatapnya kedua anak itu. Dirangkulnya mereka bergantian, lalu menjawab.

"Boleh saja. Asalkan mereka benar-benar mau dan saling mencintai pada akhirnya."

"Aku tidak setuju!" sergah Wahyu.

"Kenapa? Clara dan Reinhart serasi kok."

"Aku nggak mau jadi besannya Calvin. Nanti aku punya saingan."

"Saingan apa?"

"Saingan dalam hal ketampanan. Aku sudah insaf, sudah sadar. Kalau Calvin...jauh lebih tampan dariku."

Mereka tertawa. Semua orang berkata begitu. Tuan Calvin memang tampan. Belum lagi ia dikaruniai otak cerdas dan hati yang baik. Siapa yang tak suka?

**    

Para pegawai cafe surprised melihat atasan mereka. Langsung saja beramai-ramai mendekati Tuan Calvin dan menanyakan kondisinya. Hal ini sudah sering terjadi. Tuan Calvin tak pernah memberi tahu siapa-siapa jika dirinya sakit. Mereka tahu sendiri. Ia tak ingin menyusahkan orang lain.

Wahyu dan Nyonya Calisa bergantian mendorong kursi roda Tuan Calvin. Reinhart dan Clara berjalan di sisi mereka. Memperhatikan gerakan cepat dua orang waiters yang sibuk menyiapkan beberapa porsi makanan untuk dibagikan.

Selesai mengambil makanan dari cafe, mereka bergegas turun ke jalan. Membagikan makanan pada orang-orang tidak mampu. Tuan Calvin berkeras ikut membagikannya. Langsung saja kehadirannya menjadi pusat perhatian. Seorang pria tampan berwajah oriental di atas kursi roda membagi-bagikan makanan gratis pada kaum duafa. Pemandangan langka dan menarik. Dalam keadaan sakit, Tuan Calvin masih saja memikirkan orang lain. Motivasinya untuk beramal sangat tinggi.

"Hatur nuhun kasep...bageur. Nanti Gusti Allah yang balas." kata seorang pria tua penyapu jalan penuh terima kasih. Menepuk pundak Tuan Calvin.

"Kunaon, kasep? Sakit?" lanjut pria tua itu, menatap Tuan Calvin dan kursi rodanya.

Tuan Calvin hanya bergumam mengiyakan. Ditingkahi tatapan berempati.

"Umrah...nya? Doa di tanah suci. Insya Allah terkabul."

Umrah, satu kata itu melekat kuat di hati Tuan Calvin. Hingga perjalanan kembali ke rumah sakit, ia masih memikirkan kata itu. Haruskah ia umrah? Benarkah umrah adalah jalan menuju kesembuhan? Pertemuan dengan pria itu adalah petunjuk Allah.

"Calvin, ada apa? Kamu sakit lagi?" Nyonya Calisa berucap lembut.

"Aku memikirkan kata-kata penyapu jalan itu, Calisa."

"Soal umrah?"

"Iya. Aku ingin umrah. Tapi kondisiku tidak memungkinkan. Aku tidak ingin merepotkan di sana."

Nyonya Calisa berpikir sejenak. Terlintas sebuah ide di benaknya.

"Biar aku yang umrah, Calvin. Kamu tetap di sini. Jaga kesehatan dan fokus pada pengobatan."

Bahagia terpancar di kedua mata itu. Tuan Calvin memegang lembut pundak istrinya. Menatapnya penuh cinta.

"Kamu mau, Sayang?"

"Of course. Aku akan melakukannya. Demi kamu, demi kesembuhanmu. Pertemuan dengan pria tadi adalah petunjuk dari Allah. Agar kita berdoa di sana, memohon kesembuhan di sana."

Dalam gerakan slow motion, Tuan Calvin memeluk Nyonya Calisa. Rasa cinta dan terima kasih mengalir tanpa kata.

"Calisa Sayang...doakan aku di sana. Doakan kesembuhanku di sana."

"Aku akan selalu mendoakanmu, Calvin. Love you."

"I love you more."

Kecupan hangat mendarat di kening Nyonya Calisa. Doa dan cinta, akan menjadi obat penyembuh yang luar biasa.

**      

Berbagi, berdoa, dan mengasihi. Bentuk cinta luar biasa pada Tuhan dan sesama. Semoga ini bisa menjadi langkah terbaik untuk meraih kesembuhan.

Salam,

Hanya sekedar berbagi.

Calvin Wan berbagi

Sebuah harapan ada dalam artikel yang baru dipostingnya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun