Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tamatnya Riwayat Rabobank Indonesia, Apakah Menjadi Korban Fintech?

21 Mei 2019   08:27 Diperbarui: 22 Mei 2019   10:01 1836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelayanan Rabobank Indonesia| Sumber: Tribun Jabar/ Gani Kurniawan

Rabobank adalah sebuah bank yang berpusat di Belanda. Kehadiran bank ini di Indoensia adalah melalui sebuah anak perusahaannya yang dinamakan Rabobank Indonesia sejak tahun 1990.

Statusnya berbeda dengan bank asing yang membuka kantor cabang di Indonesia seperti Citibank, Bank of America, Bank of China, Deutsche Bank, Standard Chartered, JP Morgan Chase Bank, Bangkok Bank, Bank of Tokyo, dan HSBC.

Adapun Rabobank Indonesia diperlakukan sebagai bank swasta nasional karena sepenuhnya berbadan hukum Indonesia meskipun pemegang saham mayoritasnya adalah Rabobank Belanda. Hal ini mirip dengan CIMB Niaga dan Maybank Indonesia yang mayoritas sahamnya dipunyai oleh investor Malaysia atau OCBC NISP dan Bank DBS Indonesia yang dikuasai investor Singapura.

Memang, saat krisis moneter tahun 1997-1998 dulu telah menenggelamkan banyak bank-bank swasta yang dilikuidasi oleh otoritas moneter. Namun yang masih bisa diselamatkan, termasuk dengan mengundang investor asing, dipersilakan kembali beroperasi, sebagian di antaranya dengan mengganti nama banknya.

Perbankan Indonesia sangat menggoda bagi investor asing, antara lain karena net interest margin (NIM) yang tinggi. NIM adalah selisih suku bunga yang dibebankan bank pada penerima kredit dengan suku bunga yang dibayarkan bank pada penyimpan dana.

Rata-rata NIM di Indonesia sekitar 5%, bahkan bank-bank besar bisa punya NIM sekitar 7 sampai 8%, sementara di luar negeri angkanya di kisaran 3%. Tak heran saat ini banyak sekali bank swasta nasional yang sahamnya dikuasai pihak asing. Di samping Malaysia dan Singapura, Jepang, Korea Selatan, China, India, Qatar, Australia, dan Selandia Baru telah masuk ke bisnis perbankan nasional.

Mungkin karena kedekatan budaya dan geografis, bank-bank swasta nasional yang dikuasai Malaysia dan Singapura kelihatannya berkembang pesat. Namun tak selamanya pihak asing berhasil mereguk manisnya perbankan Indonesia. Rabobank adalah salah satu korbannya.

Belum lama ini terkuak kabar bahwa Rabobank Indonesia resmi berhenti beroperasi. Seperti dilansir dari liputan6 (3/5/2019), pihak Rabobank telah melaporkan hal ini kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan juga menyurati semua nasabahnya.

Rabobank yang mempunyai sejumlah kantor cabang di seluruh Indonesia, sebagian besar di Jakarta dan Surabaya, melakukan penutupan secara bertahap, agar semua kewajibannya kepada nasabah dapat terselesaikan dengan baik. 

dok. cnbcindonesia.com
dok. cnbcindonesia.com

Sebelumnya di tahun 2017, Royalbank of Scotland (RBS) juga menutup operasinya di Indonesia. Sama seperti RBS, ternyata alasan penutupan Rabobank bukan karena kondisi perekonomian Indonesia yang sudah tidak kondusif lagi, namun karena perubahan strategi dari induknya di Eropa. Tidak hanya Rabobank Indonesia yang ditutup tapi juga Rabobank di 24 negara lain. 

Rabobank secara global memilih fokus pelayanan kepada nasabah wholesale bukan nasabah retail seperti selama ini, sehingga tidak membutuhkan jaringan kantor cabang yang banyak.

Memang menjadi pertanyaan juga kenapa Rabobank Indonesia memilih menutup banknya, padahal ada pilihan lain seperti menjualnya kepada bank lain, baik bank nasional maupun bank asing. 

Padahal bila ditawarkan kepada pihak lain, boleh jadi ada yang tertarik, hanya saja proses penjualannya memakan waktu yang panjang. Buktinya, bank yang sekarat saja dan membawa kasus yang menghebohkan seperti Bank Century tetap laku dijual, tentu dengan harga yang lebih murah karena pihak pembeli akan melakukan due dilligence menghitung apa saja aset bank yang masih bernilai.

Makanya Bank Century kemudian berganti nama menjadi Bank Mutiara setelah diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan setelah kondisinya membaik, dibeli oleh investor Jepang sehingga berganti nama lagi menjadi J Trust Bank. 

Rabobank Indonesia memilih untuk menamatkan riwayatnya. Namun dengan persiapan penutupan yang matang, tidak terdengar ada keresahan nasabahnya. Pemberitahuan kepada nasabah yang jelas dan lengkap memudahkan mereka untuk memindahkan rekeningnya ke bank lain atau menutup rekeningnya. 

Menutup rekening lebih mudah bagi rekening simpanan, karena nasabah tinggal mengambil simpanannya saja. Lain halnya bagi penerima kredit, menutup rekening berarti harus melunasinya. Cara lain adalah dipindahkan jadi kredit di bank lain bila belum sanggup melunasi, dan bank lain tersebut yang menalangi ke Rabobank Indonesia.

Dengan maraknya fintech yang melalui aplikasi bisa melayani nasabahnya dengan cepat, diprediksi membuat bank-bank yang membidik segmen retail akan semakin banyak yang tumbang. Tapi dengan perencanaan yang matang, nasabah atau masyarakat tak perlu panik. Rabobank Indonesia telah memberi contoh yang baik.

Banyak pengamat yang telah melontarkan pendapatnya bahwa bank-bank konvensional akan berguguran ditelan fintech, namun terlalu dini kalau Rabobank disebut sebagai korban fintech. Meski kemungkinan itu ada, perlu pengkajian yang lebih dalam untuk memastikannya. Yang jelas, informasi resmi dari pihak berwenang, alasan tutupnya Rabobank Indonesia adalah karena perubahan strategi bisnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun