Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bermuaralah Air Hujan dan Air Mata

1 Mei 2024   20:13 Diperbarui: 1 Mei 2024   20:18 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar oleh Nur Andi dari Pexel.com

Beberapa dari mereka berlari melewati jalan-jalan yang dipenuhi dengan reruntuhan, menyelamatkan yang bisa diselamatkan, dan memperjuangkan setiap detik yang mereka miliki.

"AYAH..." teriak Rizal dari tempat perlindungan yang berada jauh dari bibir pantai, suaranya meluluhkan hati seiring dengan dinding air laut yang mendekat dengan cepat. Ia berteriak dengan keputusasaan yang terpancar dari suara paraunya.

"Bang Rizal, Ayah..." tangis Upik pecah bersama guntur yang menggelegar. Mereka berdua menyaksikan laut yang marah, tak kenal iba, meluluh lantakkan segalanya, mungkin bukan laut yang murka, tapi, pencipta laut, tapi, mengapa dia murka? Bukankah kami tak pernah memalingkan wajah kami? Ia berusaha memahami kehendak Tuhan di balik kejadian yang terjadi di hadapannya, mengapa kemarahan itu memuncak, Tuhan?

Rizal berusaha mengumpulkan keyakinannya yang telah terserak. Meskipun badai mengamuk di sekitarnya, ia memilih untuk percaya, pasti ada cahaya di balik kegelapan yang melanda negerinya, dalam hatinya, ia bersumpah untuk terus berdiri tegar, tak gentar menghadapi cobaan apapun yang datang, karena kekuatan sejati terletak pada ketabahan dan keihklasan dari ujian yang Tuhan berikan kepada manusia.

Mereka hanya dapat meratapi kepedihan hatinya, bermuaralah air hujan dan air mata.

***


Ketika badai mereda dan samudera kembali tenang, tanpa pikir panjang, Rizal segera berlari menuju rumah panggung, air mata yang bermuara bersama sisa-sisa tangisan langit melebur bersama hembusan angin yang jatuh ke bumi.

"Ayah... Emak..." ucap Rizal lirih, bahkan suaranya hampir tak terdengar. Ia melihat rumah panggung itu luluh lantak tak berjejak, namun, ada setitik harapan tersisa di hatinya.

"Ayah..." Dia segera berlari menuju surau yang di bangun oleh tangan Ayah sendiri, surau itu bersebelahan dengan rumahnya, surau tempat Ayah mengadukan segala keluh kesahnya, surau tempat Ayah bermunajat semalaman ketika tak dapat ikan, surau tempat Ayah memanggil penduduk kampung ini untuk menghadapkan wajahnya pada sang khalik, suaru itu masih berdiri tegak.

"Ayah..." Rizal berdiri di mulut surau, air matanya tidak lagi bermuara bersama air hujan, tapi, bersama doa, karena, ayah dan emak sedang bersujud, namun, sudah tak lagi bernyawa.

-Tamat-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun