Mohon tunggu...
Devy Arysandi
Devy Arysandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Remahan Rakyat

Masih memanusiakan manusia dengan cara manusia hidup sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air Mata Kesepuluh di Bulan Mei

14 Mei 2024   14:06 Diperbarui: 14 Mei 2024   14:13 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lembayung senja kembali menyapa keharibaan hati yang kian sendu, seiring mentari yang juga pergi meninggalkan hari. Sorot lampu jalanan yang berkilauan di kepadatan lalu lintas Jakarta, mengiringi langkah setiap penjaja kaki yang berlalu lalang di antara hiruk pikuk Kota Metropolitan. Kota seribu mimpi dan asa yang dijunjung tinggi oleh para pemiliknya. Mereka datang merantau dari tanah kelahirannya untuk mengadukan nasib kepada kerasnya kehidupan. Padahal Jakarta bukan lagi ibu untuk negeri ini, tapi rupanya daya pikat "Kota Jakarta" tetap abadi tak termakan hari. Jakarta telah menjadi saksi pergulatan hidup dari para perantaunya yang bekerja pagi, siang, dan malam untuk mencari sesuap nasi. Tanpa letih dan mengenal kata "berhenti", Jakarta tidak pernah tidur untuk menghidupi kebutuhan masyarakatnya. Sebab, Jakarta adalah ibu yang sangat mengasihi anak-anaknya.

            Hari ini, Selasa tanggal 14 Mei 2024 yang juga menjadi tahun kesepuluh semenjak kepergian ayah di sore itu. Sore yang kelam dan begitu suram untuk aku yang masih terlalu belia untuk ditinggalkan. Sejak sore itu datang, senyumku bukan lagi dengan ketulusan, tapi diselimuti kepedihan yang mendalam dan kesedihan yang tak berujung. Pernah terbesit untuk apa hidup dalam kehampaan yang berakhir pada penyesalan. Hal itulah yang akhirnya menghantui keseharianku di umurku yang baru menginjak 12 tahun dan akan menghadapi Ujian Nasional beberapa hari ke depan. Hari-hari yang begitu berat untuk kulalui karena sepanjang itu terdapat rasa takut yang selalu membayangi, tentang apa dan bagaimana kelanjutan hidup di esok hari. Namun, aku bersyukur masih dapat bertahan sampai hari ini dan berdamai dengan rasa takut dalam diriku.

            Kehidupan baru pun dimulai. Aku menjalankan rutinitas harianku setelah mengurung diri dalam duka di balik rumah yang sudah terasa sepi. Aku berusaha menguatkan hati dan memberi kepercayaan pada diri untuk memantapkan kaki melangkah pergi. Meskipun, terasa berat karena kepergianku ini akan meninggalkan mama seorang diri yang juga belum luput dari kepedihan, air matanya pun belum enggan untuk berhenti terjatuh. Ketika aku berpamit, rasa sesak dalam dada mengepung seluruh raga, membekukan bibirku yang seketika tidak sanggup untuk mengucapkan salam kepada mama. Karena masih terlihat matanya yang membengkak dan bibirnya yang kelu untuk mengizinkan aku pergi di hari itu. Akan tetapi, aku harus tetap pergi menuntaskan janjiku dalam pencapaian cita kami. Dan untuk mama, aku sudah berjanji akan kembali membawa kegembiraan dengan kelulusanku nanti.

            Sejak kepergianku hari itu, aku mulai terbiasa dengan kesendirian dan menjalani tahap pendewasaan diri yang mungkin saja belum waktunya untukku. Sebab waktu sudah berkata lain, aku harus tumbuh menjadi anak yang lebih dewasa agar aku dapat mengarungi lautan dalam tentang kehidupan. Aku sebenarnya adalah anak yang tumbuh di keluarga berkecukupan, tidak pernah merasakan kekurangan, meskipun dari kecil mama dan papa sudah berpisah. Sampai pada suatu ketika, waktu juga yang mempertemukan kami, antara aku, mama, dan ayahku yang selalu menjaga kami sampai di akhir hayatnya. Ayah yang telah mengajarkan aku tentang arti dari saling menghargai, mengasihi, dan menerima semuanya dengan keikhlasan. Walaupun, berkali-kali ayah menerima penolakan dariku di kala itu, tapi berkali-kali juga ayah kembali bangkit tanpa memaksakan kehendaknya. Sampai pada akhirnya, karang yang ada di dalam hati runtuh seiring keikhlasannya dalam menerimaku.

            Tuhan masih berbaik hati padaku yang mungkin saat itu belum begitu mengenalnya. Aku yang terlanjur tumbuh dengan kerasnya pendirianku, sudah terlalu angkuh pada diriku sendiri. Aku selalu mengagungkan kepandaianku di waktu itu dan menutup sebelah mataku untuk melihat kebaikan semesta. Sampai aku merasakan penyesalan yang mungkin hingga saat ini masih menggelayuti relung kalbu terdalam. Namun, lagi-lagi Tuhan masih berbaik hati dengan mengajarkan sebuah pelajaran berharga untukku agar aku lebih mendekat dan tumbuh melalui kebaikan. Tuhan memang tidak pernah salah dalam berucap, hanya saja aku yang selalu salah mengartikan segala ucapannya. Aku terlalu terbata-bata dalam membaca tanda Illahi dan lagi-lagi terlampau jauh untuk kembali.

            Mama yang menjadi penguatku berikutnya, sejak air mata itu menetes untuk pertama kalinya di Bulan Mei. Air mata yang turut mewarnai keseharian aku dan mama ketika pagi menjelang dan menutup hari di kala matahari membenamkan dirinya. Sejak hari itu, aku dan mama bertekad untuk saling menguatkan satu sama lain. Meskipun, terkadang terjatuh untuk kesekian kalinya dan bangkit kembali dengan tubuh yang hampir rapuh. Namun, mama tetap menguatkan aku untuk tetap yakin pada roda kehidupan yang akan terus berputar dan semuanya akan indah pada waktunya. Hal itulah yang membuatku memberanikan diri mengukir cita dalam sebuah cerita yang kusematkan pada doa. Kehidupan telah mengajarkan sekaligus mengantarkanku pada persinggahan takdir. Satu demi satu persinggahan itu kami lalui, meskipun tertatih dan terluka karena benturan kerikil tajam sepanjang jalan. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah aku dan mama untuk tetap berjalan melalui setiap persinggahan, sampai pada akhirnya aku dapat menempuh jenjang pendidikan tinggi.

            Mungkin ini adalah ketidakmustahilan yang dapat terjadi untukku. Ketika harapan itu hampir pupus di tengah jalan dan terasa mimpi untuk dapat menggapainya. Aku pernah hampir memutuskan pendidikanku di bangku Sekolah Menengah Pertama. Namun, mama menguatkan aku untuk tetap menatap mentari yang masih bersinar dan tidak berhenti walaupun terasa mustahil. Sampai akhirnya, Tuhan memberikan jalanku sendiri melalui berbagai tulisan dan penghargaan yang kuraih selama menempuh pendidikan, mengantarkanku ke bangku perkuliahan saat ini. Bulan ini adalah akhir dari perjalanan sarjanaku, seorang anak yang sudah putus untuk berharap, tapi masih diberikan kesempatan untuk bertahan.

            Tiada ungkapan yang paling indah dari kata bersyukur pada yang kuasa atas apa yang telah dipercayakan padaku sampai saat ini. Meskipun, mungkin keadaan belum pulih seperti sediakala, tapi seluruh pelajaran yang kudapatkan sudah jauh lebih mencukupi dari umurku saat ini. Terima kasih atas kepercayaan Tuhan padaku dan seluruh kesempatan-Nya, aku tahu meskipun kepahitan harus kutelan berkali-kali. Akan tetapi, keindahan hidup yang sesungguhnya, sedikit demi sedikit telah kudapatkan.

            Banyak hal yang dapat kupetik saat ini. Namun, dari banyaknya hal tersebut terdapat sebuah hal yang menguatkan aku sampai saat ini, yakni ketika aku menyadari arti keikhlasan. Keikhlasan yang mungkin masih kupelajari dan berusaha untuk kuterapkan dalam keseharianku. Terlepas dari apa dan siapa yang memberikan dan membantu kita, segala hal itu berawal dari keikhlasan. Hingga, nanti kita dapat memberi, mulailah dengan keikhlasan yang berakhir pada rasa syukur.

            Terima kasih Tuhan untuk air mata kesepuluh di Bulan Mei ini, telah tergantikan oleh kebahagiaan yang belum pernah kupikirkan sebelumnya. Semoga air mata ini adalah awal kebahagiaan baru untuk hidup ini, Aamiin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun