Impresi pertama ketika saya mendapat undangan untuk menjadi pembicara conference di Ahmedabad, Gujarat- India adalah, wow, saya akan menyambangi negeri asal pedagang-pedagang yang menyebarkan Islam ke Indonesia. Saya excited sekali. Karena, itu memang salah teori sejarah masuknya Islam yang masih mengendap di kebanyakan orang Indonesia. Termasuk saya.
Benarkah Islam di Indonesia berasal dari pedagang-pedagang Gujarati? Wallahua’lam, yang jelas ada tiga teori masuknya Islam ke Indonesia : pertama, Islam disebarkan langsung oleh musafir Arab ke negeri yang kini bernama Indonesia. Kedua, oleh para musafir Persia yang transit di Gujarat sebelum menuju Nusantara. Ketiga, oleh para pedagang Gujarat sendiri yang ketika berada dalam pengaruh Kesultanan Islam.
Entah teori mana yang benar, pastinya Gujarat membuat penasaran sangat untuk disambangi. And here I am. Setelah menempuh 6 jam 45 menit perjalanan dari Jakarta via Kuala Lumpur dan Mumbai, finally saya sampai di Ahmedabad dengan menggunakan dua airlines, Malaysia Airlines dan Air India.
Bandara Mumbai harus saya akui, keren pisan. Mewah dengan struktur yang solid dan arsitektur khas India. Sayangnya, tak diiringi dengan kerja sregep dan kemudahan ground handling-nya. Petugasnya, mohon maaf, rada lelet dan ribet. Membuat antrian untuk check in, metal detector checking, sampai imigrasi, jadi mengular panjang (make sure anda datang empat jam sebelum flight time apabila berangkat dari Mumbai).
Uniknya lagi, untuk menuju Ahmedabad mesti melalui pintu check in khusus dengan security bersenjata dan juga melewati imigrasi. Security pun tidak hanya satu, paling tidak tiga kali cabin baggage kita dicek berikut boading pass dan passport-nya oleh security bersenjata, bahkan hingga tangga pesawat. Hmmm… saya mulai mencium aroma ketidakamanan di negeri ini.
Keanehan kedua adalah mengapa untuk perjalananan domestik ke dan dari Ahmedabad ke/ dari Mumbai harus melewati imigrasi? Di Indonesia saja, kemanapun orang Jakarta pergi, entah menuju Aceh, Papua, ataupun NTT yang rawan konflik internal, tak ada cerita harus melewati imigrasi.
Satu saja negara yang saya alami menerapkan imigrasi untuk penerbangan domestiknya. Di Malaysia, penumpang domestik dari kota apapun di Semenanjung Malaya mesti melalui imigrasi apabila memasuki Serawak atau Sabah di Borneo (Kalimantan).
Setelah satu jam terbang dari Mumbai ke arah utara, maka sampailah saya di Ahmedabad. Dan pengalaman yang sama terulang, melawati imigrasi dan security bersenjata.
Keheranan saya terhadap security berlebihan di Ahmedabad ini terjawab esok harinya dari rekan India yang sama-sama mengikuti conference di Nirma University. “Pada tahun 2002 terjadi Kerusuhan Gujarat yang melibatkan dua kelompok, Hindu dan Minoritas Muslim. Akibatnya ratusan jiwa terbunuh (menurut versi Wikipedia 700-an Muslim dan 200-an Hindu terbunuh, belum lagi yang hilang sampai sekarang). Komunitas Muslim secara perlahan terusir dan terlokalisir dalam lokasi-lokasi tertentu saja di Ahmedabad,” ujar Riaz. “Luka akibat konflik komunal tersebut sampai sekarang belum pulih, relasi antar dua kelompok tersebut amat rentan, potensi terjadinya konflik amat latent dan bisa terjadi setiap saat,” tambah Riaz lagi.
Penelusuran saya di internet memang menemukan data yang menggelisahkan. Menurut catatan Wikipedia, paling tidak ada empat kali kerusuhan komunal Hindu – Muslim di Gujarat, masing-masing pada tahun 1969, 1985, 2002 dan 2006.
Di luar urusan konflik, sejatinya Ahmedabad adalah kota yang modern dan beranjak maju. Sempat meraih predikat the best city to live in India. Dengan dukungan infrastruktur, kemajuan industri dan ekonomi-nya, kota ini memang amat layak huni. Ia memang tidak semetropolitan Mumbai ataupun Delhi, tidak secantik Jaipur ataupun Agra, namun juga tidak seribet Kolkata ataupun Chennai.