Seperangkat tambur khayalan berdentam-dentam dalam dadaku dan kutarik napas panjang demi meredam getarannya. Tenggorokanku tercekat dan saat sampai di tikungan terakhir, kuputuskan mengambil pilihan yang sama seperti beberapa bulan lalu. Akan kuucapkan selamat tinggal yang biasa.
Bangku di ruang tunggu stasiun belum pernah senyaman itu hingga aku berharap buritku menumbuhkan akar dan tak bisa beranjak dari sana selamanya. Mataku bertamasya di  alis bulan sabit itu  dan turun tersesat di matamu. Dari sana kulihat lagi jauh di dalam dirimu ada labirin-labirin asing yang belum pernah kugapai, yang membuat pengakuan cinta terasa bagai pelayaran perahu kecil di lautan berbadai.
"Berapa lama sampainya nanti?" Tanyaku agak lirih.
"Sekitar sepuluh jam di jalan."
"Makan siang di kereta berarti ya, mahal dan ngga enak"
"Sudah siap bekal dong," kamu menukas sembari menepuk-nepuk ransel ungumu.
Tak lama bunyi bel melengking, pengeras suara menghamburkan nama keretamu dan angka jalurnya. Setelah seuntai terima kasih dan sesimpul senyum, kau beranjak dengan menyeret koper di lantai licin dan berbaur dalam kerumunan manusia yang juga akan cabut jauh ke sebuah kota besar di barat. Di sana, kekasihmu yang berkali kau sebut dalam percakapan kita itu sudah menantimu pulang.
Ia adalah orang yang keberadaannya membuatku sibuk menyangkal perasaan sendiri sejak benihnya pertama kali berkecambah. Ialah penghuni rumah sebenarnya, yang untuk beberapa waktu kutinggali pelatarannya.