Mohon tunggu...
Hafiz Fatah
Hafiz Fatah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan

Menyukai topik lingkungan dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Gelora Kotabaru

13 Oktober 2018   10:37 Diperbarui: 13 Oktober 2018   11:44 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Robert V. Ruggiero on Unsplash

Jika kamu berkendara ke arah selatan dari pintu gerbang kampus besar itu, melalui jalan raya lurus yang penuh hiruk pikuk kendaraan di saat jam sibuk, kamu akan menjumpai sebuah bundaran. Jalanan lalu berubah melingkar mengikuti bentuk Gelora Kotabaru. 

Di sepanjang keliling jalan menjulur lima persimpangan yang menghubungkan ke tempat-tempat penting di kota. Dua di antaranya mengantarmu ke kawasan wisata Mangkubumi dan Stasiun Danurejan.

Lapangan sepakbola yang menempati areal terluas dari kompleks olahraga Kotabaru kini memang hanya dipakai untuk pertandingan tim remaja, dan lebih populer sebagai arena menggelar konser musik. Namun kegiatan olahraga lain masih hidup. Sorak sorai lazim terdengar dari dalam gedung yang kerap dipakai untuk kompetisi bola basket. Kolam renang dan sarana kebugaran di sisi barat pun selalu  ramai pengunjung.

Di sisi timur stadion, dinding tingginya semarak dengan lukisan mural. Seniman kota ini bersama-sama menorehkan karya seni rupa pada kanvas besar di ruang publik. Dengan demikian karya mereka memperoleh eksposur yang luas dan semua orang dapat menikmati kreasi seni secara cuma-cuma.

Gambar mural berganti secara periodik dengan sistem yang tak kumengerti. Tapi meski dengan daya apresiasi terbatas, acap kutangkap deru yang ganjil dari deretan lukisan di atas media tembok itu. Sekali waktu mereka terasa seperti tiupan angin yang memperbesar nyala api di dada, membakar hasrat untuk bergerak melakukan sesuatu. Lain waktu rasanya sapuan warna yang saling timpa itu membingungkan, seperti riuh ceracau yang berebut membentur gendang telinga tanpa secuil pesan terang tertangkap.

Agaknya itu tergantung suasana hati. Kadang kuanggap mural itu menularkan emosi baik karena aku memang sedang gembira saat melaluinya, sebaliknya mereka bisa membuat kalut jika satu dua kerumitan tengah merundung pikiran. Saat kau susuri jalan melingkar itu berdua bersama perempuan yang kau puja misalnya, perasaan riang akan menyusup ke pori-pori. Sementara kesan kisruh itu muncul mungkin seperti ketika kau biarkan sebentuk kebimbangan besar mengambang di saat terakhir kau bertemu dengan seseorang yang penting bagimu. Amat langka kau dapati dirimu berada dalam kedua situasi itu sekaligus. Kecuali pagi ini.

Kita meluncur ke stasiun melalui ruas jalan yang masih lengang. Di trotoar, beberapa petugas kebersihan mengumpulkan daun gugur dan sampah terserak. Kamu duduk di belakang, bercerita tentang pengalaman menempuh serangkaian perawatan untuk menyingkirkan tumor dari kakimu. Sesekali kulontarkan pertanyaan tentang rasa nyeri atau takut yang mungkin kamu alami. Aku bersiap mendengar kisah bertahan hidup yang dramatis tapi penuturanmu lebih banyak mengungkapkan kelegaan dan mensyukuri pengalaman selama terapi. Kita lalu diam beberapa saat dan setibanya di perhentian lampu merah, kamu bertanya tentang kemajuan skripsiku.

"Entahlah," jawabku, "belum apa-apa."

"Bukannya dulu kamu pernah bilang sudah ke lapangan?"

"Tapi waktu itu baru survei lokasi aja, belum ambil data. Lagian sungainya ngga bisa diteliti kalau penuh air musim hujan gini."

"Terus, jadinya pindah tempat?"

"Engga. Sebulan lagi paling sudah kering sungainya." Aku tak sungguh-sungguh yakin sebetulnya. Hujan masih turun hampir setiap hari sampai sekarang. Patung polisi di seberang jalan saja masih sedikit basah bekas gerimis semalam. Ia jadi terlihat seperti berkeringat.

"Tapi susah juga ya nulis skripsi. Aku bingung ngolah referensi yang dikasih dosen pembimbingku. Jurnal dan buku bahasa Inggris semua. Ngga ngerti. Pakai Google Translate pun ngelantur terjemahannya." Keluhku merepet.

"Oh, ya sekalian belajar bahasa Inggris dong. Kalau grammar-mu bagus, kamu ngga bakalan ngeluh kayak gitu, kok," ujarmu sambil terkekeh meledek.

Lampu hijau menyala dan kita kembali melaju ke arah selatan. Di kiri-kanan tampak bangunan-bangunan tua yang masih terawat, sebagian besar dimanfaatkan untuk kegiatan komersial tanpa mengubah fasad gedung yang barangkali sudah dibangun sejak jaman Belanda. Pagi ini restoran, tempat perawatan kecantikan, dan toko buku itu belum membuka gerai.

Kupelankan kecepatan motor menyesuaikan laju mobil di depan, alih-alih meliuk dan mendahuluinya. Kita tak sedang tergesa kan, keretamu masih setengah jam lagi.

Aku tersenyum mendengar tawamu meski kesulitan menemukan logika dalam pernyataan sebelumnya. Apa pentingnya grammar, batinku. Kelak aku akan setuju denganmu karena bagaimana subyek dan predikat disusun menentukan konteks kalimat. Sebuah teks terasa membingungkan kalau pembaca tak menganggap signifikan perbedaan bentuk-bentuk kata kerjanya.

Kelak juga akan kusadari hal penting lain dalam menuntaskan skripsi, yaitu cepat menentukan keputusan dan berani menanggung pilihan yang pasti akan diuji itu. Seperti halnya keberanian untuk membincangkan perkara inti yang darinya tumbuh bercabang ketidakpastian.

Mulutku terkatup tak mendebat karena dalam hati mengakui otoritasmu yang telah terbukti lulus cepat. Kamu memang lebih cerdas dalam banyak hal. Itu sebabnya tidak sedikit keresahanku teralamatkan padamu. Aku menyukai binar matamu saat mendengar orang bercerita. Dan alis yang melengkung jatuh agak berlebihan dari dahi itu selalu menjanjikan keteduhan, seolah bersedia merengkuh semua kekhawatiran. Kadang kau menimpali dengan menunjukkan kebenaran pahit yang untungnya bisa kau sampaikan secara manis.

Tapi mungkin itu karena aku menilaimu terlalu tinggi saja dalam umur pertemanan yang belum panjang. Belum tentu aku tak menganggap komentarmu itu celetukan menyebalkan jika kita sudah bertahun-tahun saling bercakap.

Itu sebabnya belum ada rasa takut kehilangan kedekatan denganmu sampai akhirnya kamu wisuda beberapa bulan lalu. Siapa sangka kemungkinan tak lagi bertemu denganmu akan membikin kalut.

Beberapa minggu sebelumnya aku bahkan masih sibuk meratapi nasib buruk ditolak seorang perempuan lain. Ia lebih menyukai teman baikku, perempuan itu mengaku. Itu setelah aku membuatnya jengkel dengan tak berhenti mengajaknya bicara meski dari awal ia sudah mengisyaratkan kalau tidak ada ruang untukku barang sejengkal. Tapi setipis-tipisnya harapan sudah cukup untuk membuat orang mau susah payah berusaha. Khususnya orang-orang yang keras kepala.

"Lupakan saja perempuan itu," katamu suatu ketika, "mending tenagamu dipakai untuk cari orang lain."

Kamu benar, dan meski kemudian tidak sungguh-sungguh kulakukan, pesanmu membantuku melewati kerasnya dampak penolakan. Satu orang tak menyukaiku bukan berarti aku layak masuk tong sampah karena sama-sama golongan benda yang terbuang. Bisa jadi cuma masalah ketidakcocokan.

Di seputar masa-masa percobaan yang sia-sia itulah aku meringkuk kelelahan di hati baikmu dan merasa menemukan rumah untuk pulang.

Kita sudah di bundaran Gelora Kotabaru dan akan segera sampai di stasiun dalam dua belokan. Ucapan selamat jalan itu mesti keluar tak lama lagi.

Mural pada tembok stadion yang menyuarakan beragam pesan kebudayaan dalam dominasi warna terang terasa seperti meneriakkan suara dari akar rumput. Di antara pesan yang disuarakan adalah tentang pentingnya mempertahankan sisi manusiawi kota di tengah guyuran modal raksasa dan anjuran untuk hidup rukun sesama warga kota.

Letupan kecil pecah dalam hatiku demi mengakui banyaknya suara yang masih terkubur tentang perempuan yang kuantar ke stasiun pagi ini. Suara yang mestinya kutarik keluar lebih dulu daripada basa-basi yang mudah menguap: akankah kusampaikan perasaanku padanya?

Perempuan itu kamu --kau tentu tahu maksudku. Sedetik kemudian kutanyakan padamu tentang kemungkinan kau kembali ke kota ini.

"Tergantung hasil tes kemarin. Kalau lolos, tes berikutnya di sini lagi. Pengumumannya masih lama."

Demi Tuhan, aku percaya sudah pernah melalui fase ini sebelumnya. Sudah kuucapkan selamat tinggal yang rasanya betul-betul terakhir, berpisah sebagai teman, dan meski tersuruk di awal, pelan-pelan terbiasa hidup tanpamu seperti sekira setahun lalu saat kita belum saling mengenal. Itu saat kau pulang ke kota asalmu setelah wisuda. 

Kini kamu kembali ke kota ini beberapa hari untuk mengikuti seleksi calon pegawai sebuah jawatan milik negara dan tiga setengah menit awal perjumpaan di acara pertemuan lingkar pertemanan kita semalam sudah cukup untuk membuat perasaan itu kembali pasang.

Mengelilingi setengah badan stadion, dari sudut pandang sempit kulihat deretan mural tampak seperti berlarian ke belakang semakin cepat. Gambar-gambar itu terasa semakin gaduh. Pikiranku semakin keruh. Mengatakan kalau aku mencintaimu sama sekali tidak mudah. Itu barangkali memang penting, tapi belum tentu perlu. Dan tak mungkin kuucapkan sambil membelakangimu. Dan tak mungkin kulakukan di jalanan, saat desau angin dan mesin kendaraan lain bisa menenggelamkan suaraku, dan aku tak punya energi lagi mengulang kalimatku jika kamu tak mendengarnya dengan jelas.

Seperangkat tambur khayalan berdentam-dentam dalam dadaku dan kutarik napas panjang demi meredam getarannya. Tenggorokanku tercekat dan saat sampai di tikungan terakhir, kuputuskan mengambil pilihan yang sama seperti beberapa bulan lalu. Akan kuucapkan selamat tinggal yang biasa.

Bangku di ruang tunggu stasiun belum pernah senyaman itu hingga aku berharap buritku menumbuhkan akar dan tak bisa beranjak dari sana selamanya. Mataku bertamasya di  alis bulan sabit itu  dan turun tersesat di matamu. Dari sana kulihat lagi jauh di dalam dirimu ada labirin-labirin asing yang belum pernah kugapai, yang membuat pengakuan cinta terasa bagai pelayaran perahu kecil di lautan berbadai.

"Berapa lama sampainya nanti?" Tanyaku agak lirih.

"Sekitar sepuluh jam di jalan."

"Makan siang di kereta berarti ya, mahal dan ngga enak"

"Sudah siap bekal dong," kamu menukas sembari menepuk-nepuk ransel ungumu.

Tak lama bunyi bel melengking, pengeras suara menghamburkan nama keretamu dan angka jalurnya. Setelah seuntai terima kasih dan sesimpul senyum, kau beranjak dengan menyeret koper di lantai licin dan berbaur dalam kerumunan manusia yang juga akan cabut jauh ke sebuah kota besar di barat. Di sana, kekasihmu yang berkali kau sebut dalam percakapan kita itu sudah menantimu pulang.

Ia adalah orang yang keberadaannya membuatku sibuk menyangkal perasaan sendiri sejak benihnya pertama kali berkecambah. Ialah penghuni rumah sebenarnya, yang untuk beberapa waktu kutinggali pelatarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun