Mohon tunggu...
Hafiz Fatah
Hafiz Fatah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan

Menyukai topik lingkungan dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Gelora Kotabaru

13 Oktober 2018   10:37 Diperbarui: 13 Oktober 2018   11:44 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Robert V. Ruggiero on Unsplash

"Engga. Sebulan lagi paling sudah kering sungainya." Aku tak sungguh-sungguh yakin sebetulnya. Hujan masih turun hampir setiap hari sampai sekarang. Patung polisi di seberang jalan saja masih sedikit basah bekas gerimis semalam. Ia jadi terlihat seperti berkeringat.

"Tapi susah juga ya nulis skripsi. Aku bingung ngolah referensi yang dikasih dosen pembimbingku. Jurnal dan buku bahasa Inggris semua. Ngga ngerti. Pakai Google Translate pun ngelantur terjemahannya." Keluhku merepet.

"Oh, ya sekalian belajar bahasa Inggris dong. Kalau grammar-mu bagus, kamu ngga bakalan ngeluh kayak gitu, kok," ujarmu sambil terkekeh meledek.

Lampu hijau menyala dan kita kembali melaju ke arah selatan. Di kiri-kanan tampak bangunan-bangunan tua yang masih terawat, sebagian besar dimanfaatkan untuk kegiatan komersial tanpa mengubah fasad gedung yang barangkali sudah dibangun sejak jaman Belanda. Pagi ini restoran, tempat perawatan kecantikan, dan toko buku itu belum membuka gerai.

Kupelankan kecepatan motor menyesuaikan laju mobil di depan, alih-alih meliuk dan mendahuluinya. Kita tak sedang tergesa kan, keretamu masih setengah jam lagi.

Aku tersenyum mendengar tawamu meski kesulitan menemukan logika dalam pernyataan sebelumnya. Apa pentingnya grammar, batinku. Kelak aku akan setuju denganmu karena bagaimana subyek dan predikat disusun menentukan konteks kalimat. Sebuah teks terasa membingungkan kalau pembaca tak menganggap signifikan perbedaan bentuk-bentuk kata kerjanya.

Kelak juga akan kusadari hal penting lain dalam menuntaskan skripsi, yaitu cepat menentukan keputusan dan berani menanggung pilihan yang pasti akan diuji itu. Seperti halnya keberanian untuk membincangkan perkara inti yang darinya tumbuh bercabang ketidakpastian.

Mulutku terkatup tak mendebat karena dalam hati mengakui otoritasmu yang telah terbukti lulus cepat. Kamu memang lebih cerdas dalam banyak hal. Itu sebabnya tidak sedikit keresahanku teralamatkan padamu. Aku menyukai binar matamu saat mendengar orang bercerita. Dan alis yang melengkung jatuh agak berlebihan dari dahi itu selalu menjanjikan keteduhan, seolah bersedia merengkuh semua kekhawatiran. Kadang kau menimpali dengan menunjukkan kebenaran pahit yang untungnya bisa kau sampaikan secara manis.

Tapi mungkin itu karena aku menilaimu terlalu tinggi saja dalam umur pertemanan yang belum panjang. Belum tentu aku tak menganggap komentarmu itu celetukan menyebalkan jika kita sudah bertahun-tahun saling bercakap.

Itu sebabnya belum ada rasa takut kehilangan kedekatan denganmu sampai akhirnya kamu wisuda beberapa bulan lalu. Siapa sangka kemungkinan tak lagi bertemu denganmu akan membikin kalut.

Beberapa minggu sebelumnya aku bahkan masih sibuk meratapi nasib buruk ditolak seorang perempuan lain. Ia lebih menyukai teman baikku, perempuan itu mengaku. Itu setelah aku membuatnya jengkel dengan tak berhenti mengajaknya bicara meski dari awal ia sudah mengisyaratkan kalau tidak ada ruang untukku barang sejengkal. Tapi setipis-tipisnya harapan sudah cukup untuk membuat orang mau susah payah berusaha. Khususnya orang-orang yang keras kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun