Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hanya Kabarnya

8 Juni 2017   13:09 Diperbarui: 8 Juni 2017   13:18 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semak belukar dan pepohon raksasa menyambut kehadiranku di pinggiran berbukit-bukit hijau yang masih sangat jauh dari kota. Jalan tanah merah berlekuk-lekuk akibat digerus air. Namun tidak ada suara hewan liar.

Langit temaram. Suasana seketika asing bagiku, yang sama sekali tidak mengenal daerah ini. Aku sengaja menuju daerah ini karena aku ingin menjelajah dan mengenal setiap tempat yang belum pernah kuhayati dan catatkan.

Hanya kabarnya, yang kuingat, di daerah ini hutan belantara merajalela. Gelap selalu lebih lama daripada terang. Hewan buas selalu berkeliaran. Ular sering menelan lembu. Manusia berkelompok-kelompok dan saling memangsa. Bagi yang tidak memiliki kelompok, bersiaplah menjadi sasaran bagi semua kelompok.

Itu ‘hanya kabarnya’, dan kawan-kawan sering menganjurkan aku untuk tidak konyol dengan menjerumuskan diri ke sini. Kalau telanjur, gelaplah yang menguasai seluruh hidup, dan kesempatan untuk bisa keluar hanya berada pada ‘kabarnya’.

Kecuali berdua atau bertiga, kata kawan-kawan. Mengapa harus berdua-bertiga? Justru aku penasaran, benarkah seperti ‘hanya kabarnya’ hingga begitu menakutkan. Aku pun tidak patuh pada ‘hanya kabarnya’. Aku tidak patuh pada apa yang dikatakan dalam ‘hanya kabarnya’. Justru sangat menggoda bagi hasrat petualanganku.

Percuma patuh kalau kubandingkan dengan apa yang sudah kulewati. Aku sudah menjelajahi hutan, meski belum puluhan apalagi ribuan hutan. Aku sudah sering berjumpa ular, meski belum pernah melihat secara langsung seekor ular sedang menelan lembu. Aku sudah pernah membaca tentang manusia hidup berkelompok dan saling memangsa antarkelompok, tetapi belum pernah melihat secara langsung.

Nah, kalau ‘hanya katanya’ itu memang benar dan nyata kualami, barulah aku bisa percaya. Lalu kucatatkan dan rekam secara lengkap untuk menguatkan ‘hanya katanya’. Terpikir pula untuk membuat buku semacam catatan penjelajahan yang di dalamnya terdapat cerita dari ‘hanya katanya’ menjadi ‘tidak hanya katanya’.   

***

Aku datang ke daerah yang selalu berkisar pada ‘hanya kabarnya’ ini agar bisa benar-benar kuhayati dan catatkan untuk membuktikan bahwa semua itu bukanlah ‘hanya kabarnya’. Tentu saja sebuah kabar tidak menjadi jaminan dalam kebenaran, apalagi kenyataan. Tentu pula tidak jelas motivasi apa di balik sebuah kabar. Yang paling benar dan nyata, ada debar pada dadaku walaupun baru sebatas pinggiran daerah.

Gelap segera turun; bergegas merangkul apa pun di sekitarnya. Temaram pun lamat-lamat padam. Tidak ada angin. Tidak ada suara-suara. Tidak bebauan. Tidak ada setitik sinar dari penerangan gubuk apalagi rumah. Suhu sekitar pun menurun dibanding ketika aku baru tiba tadi.

Aku menghentikan langkah yang, kurasa, belum ratusan. Kucoba berpikir sejenak. Apakah sore ataukah petang ketika aku turun tadi. Kegelapan terlalu cepat menyambutku. Suasana kian terasa asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun