Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Rumah Berdinding Bukit

24 September 2019   22:16 Diperbarui: 25 September 2019   13:20 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sudah kusiapkan kopi dan gula merah," katamu ketika hari mendekati sore

"Ah, benarkah kau siapkan kopi dan gula merah?" tanyaku

Tidak akan ada yang lebih indah dari kopi dan gula merah, lalu dituang ke dalam susunan mozaik serpihan pengalaman yang direkatkan dengan cairan-cairan emas

Di antara bentuk yang tidak diduga, merupa kejutan-kejutan dari sisi-sisi waktu

Di antara retakan-retakan bersisi banyak, merupa sua yang memantulkan kilau dari banyak sudut

"Tak maukah datang untuk sedikit mencecap?" tawarmu di antara senyum dan mata murung, ketika aku menerobos sesak jalan ke utara

"Adakah kopi dan gula merah untukku?" tanyaku kemudian, berharap mimpi tidak berakhir ketika mata terbuka dan sore berlalu

"Aku sudah menyisihkan kopi dan gula merah. Dan sudah kumasukkan ke dalam serpihan-serpihan pengalaman yang memozaik, dan emas menyatukannya menjadi sebuah keelokan. Kutuang nanti ketika kamu menduduki bangku di seberang mejaku," lanjutmu.

Dan aku terpesona. Seperti melihat malam yang terlalu indah untuk diakhiri di sisi jauh mimpi

"Kau kah semburat matahari senja? Yang sinarnya memantul ke permukaan serpihan pengalaman yang memozaik?" gumanku mengagumi keindahanmu

"Aku hanyalah pengaduk kopi dan gula merah" jawabmu sambil mengambil sendok bermulut kecil dan bertangkai panjang sewarna tembaga

"Aku menunggu di ujung jalan sebelum suara-suara ombak merdu terdengar dan kabut bergerombol di tebing tinggi," aku takzim mendengar, sambil melihat tangan kirimu menambahkan arang ke tungku tanah liat

"Kalau kamu sampai di sini, kamu sudah pulang ke tempat di mana kamu harus pulang. Di rumah berdinding bukit, di mana aroma kopi dan gula merah memenuhi ruang percakapan kita," senyum menggantung setipis goresan pensil

"Tidak ada yang perlu dibuktikan. Tidak ada yang perlu dipastikan. Tidak ada yang perlu diceritakan. Aroma kopi dan gula merah adalah nyanyian jiwa-jiwa kita. Tidak, tidak ada apapun yang perlu kita buktikan kepada dunia ini," ceritamu melalui tatapan mata.

Ujung ceret menunduk, menuang tirta yang mengepulkan aroma kopi dan gula merah

| Halim | 24 September 2019 | 20.36 |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun