Pada 28 September 1966, Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Seperti kita ketahui pada 11 Maret 1966 telah diserahkan sebuah surat oleh Presiden Soekarno kepada Soeharto, bernama Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Lebih penting adalah dengan dibubarkannya Partai Komunis Indones (PKI), pada 12 Maret 1966,Indonesia seakan-akan ingin mengatakan, bahwa bangsa Indonesia seirama dengan AS yang tidak menginginkan adanya komunis di Indonesia.
Kemudian masalah-masalah yang berkaitan dengan kewajiban Indonesia mengenai Irian Barat ditangani oleh Soeharto. Adam Malik yang sudah berperan dalam berbagai perundingan Indonesia-Belanda di masa Presiden Soekarno, terus dipercaya Soeharto untuk menyelesaikan masalah Irian Barat dan sekarang sebagai Menteri Luar Negeri RI. Ketika menghadiri Sidang Majelis Umum PBB tahun 1966 di New York, Adam Malik menegaskan kesediaan Indonesia melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat pada tahun 1969.
Pertanyaan yang muncul bukankah Presiden Soekarno masih berkuasa di tahun 1966 tersebut? Memang benar peralihan kekuasaan resmi berlangsung pada tahun 1968, tetapi sejak dikeluarkannya Supersemar, kekuasaan Soekarno sudah selesai. Coba kita baca buku Lambert J.Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi (Jakarta, PT.Grasindo, 2005) halaman 233. Bagaimana pada tanggal 19 Februari 1967, dua orang staf televisi Belanda, Aad van den Heuvel dan Ed van Westerloo bertemu Presiden Soekarno di Istana Merdeka bercerita tentang kegelisahan seorang Soekarno. Mereka menyatakan:
"...Dengan sebuah gerakan tangan tidak sabar, Presiden menyuruh pergi Menteri Luar Negeri Adam Malik, tanpa memandangnya. Sesudah itu ia menanggalkan baju seragamnya dan sambil di sana-sini membetulkan lukisan yang miring dan meniup debu yang tidak ada dari bajunya, dengan baju kemeja dan bretel yang tergantung lepas, ia tampak menghilang dari layar televisi..."
Sangatlah jelas kalau kita ingin mempermasalahkan PT.Freeport, kita mencoba memahami kerja keras Presiden AS John F Kennedy yang berjuang keras menekan Belanda agar Irian Barat (Papua) harus dikembalikan ke Indonesia. Bagaimana pun, saya bisa memahami kepiawaian Soeharto dalam masalah Irian Barat. Juga dalam masalah Timor Timur. Sayangnya di masalah Timor Timur harus ikhlas menerima lepasnya Provinsi Indonesia itu tetapi di masa B.J.Habibie menjadi Presiden RI, bukan di masa Soeharto berkuasa.
Dapat disimpulkan bahwa Rusia dan Amerika Serikat banyak membantu Indonesia. Apalagi dikaitkan dengan kebijakan Indonesia menerapkan kebijakan luar negeri bebas dan aktif.