Joni menggelengkan kepala sambil tersenyum. Wajahnya tampak tua dan lelah.
"Bagiku mereka sudah hilang. Saat ini mereka tidak sadar bahwa kau dan aku sedang berdialog atau bahkan aku eksis. Otak mereka begitu jauh dari kenyataan sehingga mereka tidak dapat memahami apa pun di luar kepentingan diri mereka sendiri. Mereka bahkan tidak sadar akan realita abu-abu yang melarutkan jiwa mereka ke kursi ergonomis yang nyaman namun tak bernyawa di ruang rapat ini."
"Wow! Jadi benda lumpur kelabu itu adalah bagian dari jiwa mereka?"
"Bukan cuma bagian, itu adalah keseluruhan jiwa mereka. Jutaan jiwa-jiwa yang rusak ini meluruh larut dan hanyut menuju sungai-sungai besar kelabu yang mencekik melalui tanah kami. Memadamkan kawah api yang luas dan dataran yang terbakar. Padang tengkorak berubah karena likuifaksi menjadi telaga abu-abu yang muram. Bahkan anak-anak Dunia Lain yang gundul dan buta mulai tenggelam dalam lumpur kotoran ini," jawab Joni berpuisi.
Joni menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Bahunya bergetar. Aku memutar otak, ingin mengatakan sesuatu yang dapat menghiburnya.
"Kau bohong."
Joni menurunkan tangannya dan menyeringai lebar. "Apa yang membuatku ketahuan? Anak-anak buta?"
Aku tertawa sampai tersedak. "Padang tengkorak terdengar tak masuk akal."
Senyumku lenyap dan aku menatap matanya yang gelisah. "Tapi ini masalah serius, bukan?"
Joni mengangguk. "Aku baru saja menggambarkan Dunia Lain sesuai dengan imajinasi manusia. Sebetulnya dunia kami mirip dengan dunia kalian dalam banyak hal. Hanya saja kami lebih sering tertawa, kami minum tanpa pernah mabuk dan kami tidak punya kata untuk 'mungkin'. Tapi situasi kami sungguh mengerikan. Jiwa-jiwa seperti mereka akan tersesat dan gagal menyeberang ke dunia kami. Itu sebabnya aku tidak punya pilihan selain melibatkan kau. Dan juga mereka yang lain seperti kau."
"Sudah cukup dengan plagiasi dialog film aksi murahan ini. Tidak bisakah kamu jujur padaku?"