Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mata untuk Aini | Tanpa Hati

19 Januari 2020   05:46 Diperbarui: 20 Januari 2020   21:21 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bimo meninggalkanku selamanya ayah..."

Tangisanku pecah dan tumpah didada ayah, cuma itu yang mampu aku ucapkan.

"Innalillahi waina ilaihi rojiun...kenapa kamu baru kasih tahu ayah..."
"Sebetulnya ayah merahasiakan ini..hanya ayah dan dokter yang tahu.."
"Hanya saja dokter tidak kasih tahu ayah kalau Bimonya sudah meninggal.."
"Bimo adalah lelaki yang mau berkorban demi cintanya.."

Ayah melepaskan pelukanku, matanya berkaca-kaca. Ayah bergerak kearah jendela membelakangiku. Pandangannya jauh keluar jendela. Kata-kata ayah itulah yang membuatku terus mengingat Bimo, terus merasa Bimo masih ada, sehingga aku terus mencarinya.
Aku teringat ketika Bimo mengajarkanku tentang makna 'Lillah', yang dia kutip dari syair penyair sufi wanita terkenal, Rabi'ah Al Adawiyah.

Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi padaku

Syair itu mencerminkan sikap dan perbuatannya, bukan cuma terhadapku, tapi juga pada setiap pengabdianya kepada siapapun, dia lakukan dengan Lillahi Ta'ala, semata-mata karena Allah, bukan cuma demi cintanya padaku, tapi karena cintanya apada Allah Ta'ala.

Bimo merasa apa yang ada pada dirinya adalah milik Allah, termasuk juga matanya. Baginya, dia sudah cukup melihat dunia, menyaksikan keindahan Ciptaan-Nya. Dia ingin aku bisa melihat dunia agar aku bisa lebih bersyukur. Bimo lebih memilih jalan sunyi dikeramaian dunia. Diusianya yang masih muda, dia sudah menganut pemikiran para sufi.

Aku menjawab pertanyaan ayah mengakhiri pembicaraan kami saat itu, dan itu adalah pembicaraan terakhir kami dalam satu minggu itu. Aku katakan pada ayah apa yang dikatakan Bimo didalam suratnya.

"Bimo mengatakan semua didalam surat yang dia berikan padaku ayah.."
"Dia rela mendonorkan matanya bukan semata karena cintanya kepadaku.."
"Tapi juga karena cintanya pada Allah Ta'ala..apa yang dia miliki adalah kepunyaan Allah.."

Aku tinggalkan ayah setelah itu, aku pergi berziarah kemakam ibu, aku tumpahkan tangisku di pusara ibu. Aku panjatkan doa pada ibu agar aku dimudahkan dalam usahaku mencari Bimo. Aku ingat kata-kata terakhir ayah sebelum aku pergi meninggalkannya

"Kamu harus cari dimana kuburnya Aini..kamu harus bersyukur atas nikmat Allah.."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun