Mohon tunggu...
zuviona yuan sijabat
zuviona yuan sijabat Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya suka membaca karena membuka wawasan saya tentang dunia dan ide-ide baru. Saya juga gemar bermain gitar, yang membantu saya mengekspresikan diri dan merilekskan pikiran. Selain itu, saya rutin berolahraga untuk menjaga kesehatan fisik dan mental. Hobi-hobi ini mencerminkan diri saya sebagai seseorang yang selalu ingin belajar, kreatif, dan menghargai keseimbangan dalam hidup."

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Negara Demokrasi, Rakyat Harus didengar Kepentingan Rakyat yang Utama

2 September 2025   13:00 Diperbarui: 2 September 2025   11:57 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan Mahasiswa Bandung Melakukan Demonstrasi Imbas Keputusan DPR, Kamis, 22 Agustus 2024. tirto.id/Dini Putri Rahmayanti(sumber :https://tirto.id/in

         

         Indonesia secara konstitusional menetapkan dirinya sebagai negara demokrasi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang seharusnya menjadi pusat orientasi dalam setiap pengambilan keputusan negara. Demokrasi Indonesia tidak hanya bermakna prosedural, seperti pemilu yang dilaksanakan secara berkala, tetapi juga substantif, yakni menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama. Namun, dalam praktiknya, kerap kali terdapat kesenjangan antara idealisme demokrasi dengan kenyataan politik sehari-hari. Secara historis, sejak reformasi 1998, Indonesia mengalami berbagai transformasi politik yang mendorong penguatan demokrasi. Lahirnya berbagai kebijakan keterbukaan informasi, kebebasan pers, dan meningkatnya partisipasi masyarakat sipil merupakan capaian penting. Akan tetapi, masih sering dijumpai fenomena yang menunjukkan lemahnya penghormatan terhadap suara rakyat. Politik elitis dan dominasi oligarki dalam proses perumusan kebijakan menjadikan demokrasi lebih berorientasi pada kepentingan segelintir kelompok dibandingkan aspirasi publik luas. Hal ini mengakibatkan demokrasi yang dijalankan cenderung bersifat formalistik tanpa benar-benar mengakar pada nilai keadilan sosial. 

          Tantangan demokrasi di Indonesia semakin terlihat dari rendahnya partisipasi substantif rakyat di luar pemilu. Suara rakyat sering kali baru terdengar ketika mobilisasi besar-besaran terjadi, seperti aksi demonstrasi. Namun, aksi ini pun tidak jarang dipandang sebagai ancaman ketertiban oleh negara. Respons represif dari aparat terhadap masyarakat yang berusaha menyampaikan kritik justru memperlihatkan bahwa negara belum sepenuhnya mampu menjamin hak konstitusional warga negara. Padahal, salah satu indikator demokrasi yang sehat adalah adanya ruang aman bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat tanpa takut akan intimidasi atau kekerasan. Fenomena demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada Agustus 2025 menjadi potret nyata tantangan demokrasi di Indonesia. Gelombang aksi yang melibatkan mahasiswa, buruh, hingga kelompok masyarakat sipil tersebut muncul sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah dan DPR yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Ironisnya, suara rakyat yang disalurkan melalui demonstrasi justru dihadapi dengan tindakan represif aparat kepolisian. Laporan berbagai lembaga mencatat ratusan orang ditangkap, puluhan mengalami kekerasan, dan seorang mahasiswa bernama “Affan Kurniawan” meninggal dunia akibat tertabrak kendaraan taktis Brimob. Peristiwa ini mengguncang kepercayaan publik dan menjadi bukti nyata bahwa demokrasi Indonesia masih jauh dari ideal. Jika ditinjau dari teori demokrasi substantif, apa yang terjadi pada demonstrasi Agustus 2025 memperlihatkan lemahnya komitmen negara dalam menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Alih-alih mendengarkan kritik dan menjadikannya masukan, negara cenderung merespons dengan pendekatan keamanan yang represif. Pola ini menunjukkan adanya krisis kepercayaan dan menimbulkan pertanyaan mendasar tentang sejauh mana demokrasi di Indonesia masih berjalan sesuai amanat konstitusi. Demokrasi sejati tidak hanya berhenti pada proses elektoral, tetapi harus hadir dalam bentuk perlindungan hak rakyat untuk berpendapat, meski berupa kritik keras terhadap pemerintah. Urgensi mendengarkan suara rakyat menjadi semakin penting dalam konteks tersebut. Aspirasi masyarakat yang muncul melalui demonstrasi, media, atau kanal partisipasi publik lainnya seharusnya menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan. Mengabaikan suara rakyat sama dengan melemahkan legitimasi negara, karena tanpa rakyat tidak ada demokrasi. Negara demokrasi sejatinya tidak boleh takut terhadap kritik, karena kritik adalah bentuk partisipasi dan keterlibatan rakyat dalam membangun bangsa. 

           Kritik dan protes harus dilihat sebagai energi positif untuk memperbaiki kualitas pemerintahan dan memastikan kebijakan yang dihasilkan benar-benar pro-rakyat. Dengan demikian, kejadian demonstrasi Agustus 2025 harus dijadikan momentum untuk mengevaluasi kembali arah demokrasi di Indonesia. Jika aparat kepolisian dan pemerintah terus mengedepankan tindakan represif, maka jurang ketidakpercayaan publik terhadap negara akan semakin dalam. Sebaliknya, jika aspirasi rakyat dijadikan acuan dan partisipasi masyarakat diperkuat, maka hal itu dapat menjadi langkah nyata menuju demokrasi substantif. Reformasi kepolisian, transparansi kebijakan, serta keberpihakan pada kepentingan rakyat adalah syarat mutlak agar demokrasi Indonesia benar-benar mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, penting untuk menekankan bahwa demokrasi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari prinsip-prinsip hak asasi manusia. UUD 1945 Pasal 28E jelas menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Jika aparat negara justru menjadi aktor utama dalam pelanggaran hak tersebut, maka negara sedang melanggar konstitusinya sendiri. Kasus-kasus kekerasan dalam penanganan demonstrasi Agustus 2025 menunjukkan bahwa implementasi hukum sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Polri sebagai instrumen negara seharusnya menjamin perlindungan hak warga, bukan justru menjadi ancaman terhadap kebebasan sipil. Krisis kepercayaan publik terhadap Polri semakin terlihat pasca-demonstrasi tersebut. Banyak masyarakat menilai aparat lebih menjadi alat kekuasaan dibandingkan pelindung rakyat. Padahal, legitimasi institusi kepolisian hanya bisa diperoleh dari kepercayaan rakyat. Ketika kepercayaan itu runtuh, maka negara akan kehilangan salah satu fondasi penting dalam menjaga stabilitas demokrasi. Oleh karena itu, reformasi kepolisian bukan sekadar mengganti pimpinan, tetapi harus menyentuh dimensi struktural, kultural, dan fungsional agar aparat benar-benar profesional, humanis, dan akuntabel. Selain reformasi internal kepolisian, perlu juga diciptakan mekanisme pengawasan eksternal yang lebih kuat dan independen.

           Selama ini, lembaga pengawas sering kali tidak memiliki daya paksa yang efektif terhadap Polri. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, institusi penegak hukum harus berada di bawah kontrol sipil yang transparan dan akuntabel. Keterlibatan masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga independen dalam mengawasi kinerja kepolisian harus diperluas agar praktik represif dapat dicegah sejak dini. Dengan demikian, kekuasaan negara dapat benar-benar diarahkan untuk melayani kepentingan rakyat. Akhirnya, momentum demonstrasi Agustus 2025 harus dipandang bukan hanya sebagai tragedi, tetapi juga sebagai titik balik bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Jika negara mau belajar dari kesalahan, maka kejadian tersebut dapat menjadi pemicu lahirnya reformasi yang lebih mendalam. Demokrasi Indonesia akan kuat apabila rakyat benar-benar ditempatkan sebagai pemegang kedaulatan, kritik dilihat sebagai masukan, dan aparat bekerja sebagai pelindung, bukan penindas. Sebaliknya, jika suara rakyat terus dibungkam, maka demokrasi hanya akan menjadi slogan kosong tanpa makna substantif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun