Aku pun menurut saja saat tangannya meraih tubuh ini.
"Ya, Kang, Saya doakan semoga rezeki kita mengalir deras, usaha sampeyan di sana nanti lancar, diberi kesehatan. Namun, ...."
Aku tidak mampu melanjutkan kalimat yang tiba-tiba terasa tercekat.
Kang Mursidi memelukku lebih erat. Mungkin dia merasakan juga kekhawatiranku saat jauh darinya.
" Yul, kamu khawatir dengan diriku? Halah, nggak usah diturutkan perasaanmu. Itu hanya rasa dan anganmu saja. Toh aku di sana kan bekerja untuk masa depan kita yang lebih cerah. Juga untuk anak-anak kita nanti, to Yul."
"Ya, saya yakin Kang. Pokoknya jaga diri, ya, Kang. Namanya godaan kan macam-macam. Iman seseorang juga naik turun."
Tidak terasa, air mataku mulai menetes. Rasa khawatir, galau, harapan dan keyakinan campur aduk di dada.
Kang Mursidi buru-buru menghapus air mataku dengan jari-jarinya.
"Sudah, nggak usah sedih, yang paling penting, doakan aku agar tetap sehat, dapat bekerja dengan nyaman, nanti pulang bawa uang yang banyak, untuk membangun semua angan kita. Sudah malam. Yuk, istirahat dulu, besok kan harus bangun pagi mengantarku ke terminal."
Aku tidak mampu menjawab kalimatnya, hanya mengangguk pelan.
Malam makin larut. Raga ini pun sudah memberikan isyarat untuk segera  direbahkan.