RUU Perampasan Aset sedang jadi primadona politik hukum saat ini. Pemerintah dan DPR sepakat mengusungnya dalam waktu dekat sebagai senjata pamungkas untuk merampas hasil korupsi, pencucian uang, dan kejahatan besar lain. Di atas kertas, gagasan ini terdengar wow, Negara hadir, merampas harta haram, dan mengembalikannya ke rakyat. Tapi mari kita berfikir lebih liar, apakah RUU ini benar-benar siap menghadapi realitas zaman, atau hanya sekadar kosmetik hukum untuk memuaskan amarah publik?
Kita hidup di era ketika uang sudah tak lagi berwujud tumpukan kas di brankas, atau rekening di bank konvensional yang gampang dibekukan. Dunia digital telah membuka ruang persembunyian baru yang hampir mustahil dijangkau dengan piranti hukum lama. Blockchain, crypto, aset digital, dan jaringan pencucian uang yang bermain di ruang maya tanpa paspor. Koruptor hari ini bukan lagi sekadar menyembunyikan uang di rekening luar negeri atau membeli properti atas nama boneka. Mereka bisa mengubah hasil kejahatan menjadi token digital, memecahnya jadi ribuan dompet kecil, mengaburkannya lewat "mixer" dan "tumbler", lalu memindahkannya lintas benua dalam hitungan detik. Semua tercatat, tapi tak ada yang bisa disentuh.
Pertanyaannya: apakah RUU Perampasan Aset ini siap menyapu kompleksitas itu?
Mari kita belajar dengan kasus di luar negeri. Di Amerika Serikat, otoritas sudah berulang kali kesulitan melacak aliran dana hasil kejahatan yang disembunyikan lewat Bitcoin dan Monero. Bahkan FBI yang punya teknologi canggih pun butuh waktu bertahun-tahun hanya untuk menembus sebagian kecil jaringan. Di Eropa, kasus pencucian lewat bursa crypto bayangan (shadow exchanges) membuktikan betapa gampangnya uang gelap dicuci hingga terlihat bersih. Dan di Asia, kartel narkoba sudah lama menggunakan crypto untuk memutar keuntungan haram, semuanya sahih di mata sistem blockchain, tapi tak terlihat oleh hukum nasional.
Sekarang bayangkan Indonesia. Aparat kita selama ini sudah kepayahan hanya sekadar membekukan rekening perbankan koruptor. Lalu bagaimana dengan dompet digital anonim yang bahkan pemiliknya tak perlu menunjukkan KTP, cukup koneksi internet dan password? Bagaimana dengan sistem DeFi (decentralized finance) yang beroperasi tanpa otoritas, tanpa izin, tanpa regulator? Kalau ini tidak disentuh RUU, maka perampasan aset hanyalah sekedar kata kata dan tumpukan pasal. Kejahatan atau koruptor bisa tetap tertawa, karena walaupun dipenjara, harta digitalnya tetap aman di server luar negeri.
Di sinilah rakyat harus turun tangan. Kita tidak boleh hanya jadi penonton ketika RUU ini dibahas. Kita harus mengawal agar isinya memasukkan mekanisme canggih: pengaturan tracing blockchain, kerja sama internasional, kewajiban integrasi dengan sistem KYC global, hingga pemanfaatan AI untuk mendeteksi pola pencucian uang digital. Kalau tidak,Hukum akan selalu kalah start. Saat aparat sibuk menyita rumah, mobil, atau rekening, para pelaku kejahatan justru sudah memindahkan miliaran dolar ke jaringan DeFi yang tidak tersentuh.
Dan jangan lupa stigma lama: banyak koruptor justru berpikir "biarlah masuk penjara, asal harta tetap selamat." Mental ini makin berbahaya jika harta itu disembunyikan dalam crypto yang tidak bisa disentuh hukum. Apa gunanya mereka dihukum, kalau setelah keluar panjara tetap menikmati hasil rampasan dalam bentuk digital wallet yang tak terbuka oleh negara?
Karena itu, RUU Perampasan Aset harus dikawal rakyat dengan kacamata yang lebih tajam. Jangan biarkan DPR hanya mengesahkan aturan yang gagah di podium tapi klasik di prakteknya. Kita harus paksa mereka menulis pasal-pasal yang menyapu ke dunia blockchain, crypto, NFT, hingga sistem keuangan digital yang sudah jadi ladang baru pencucian uang. Jika tidak, maka RUU ini hanya jadi drama politik---indah di teks, tapi gagal menyentuh kenyataan.
Kita sedang ada di persimpangan, apakah Indonesia siap menghadapi bentuk baru kejahatan yang secanggih blockchain, ataukah kita puas dengan undang-undang kosmetik yang hanya memburu aset fisik sementara harta digital haram terus bersembunyi dengan aman?
Simulasi Cuci Uang
berikut empat simulasi yang membuat kita sadar betapa rapuhnya piranti hukum konvensional ketika berhadapan dengan teknologi blockchain:
pertama, seorang pejabat korupsi atau aktor kejahatan proyek infrastruktur, menerima suap miliaran rupiah. Uang itu tak disimpan di bank, tapi langsung ditukar ke Bitcoin lewat bursa crypto kecil di luar negeri. Lalu dipotong-potong ke ratusan dompet digital. Tiap dompet hanya berisi sedikit, tapi kalau disatukan nilainya triliunan. Aparat kita bisa membekukan rekening, tapi bagaimana cara membekukan dompet tanpa nama, tanpa alamat, tanpa KTP? Di layar blockchain, semuanya sah.
Kedua, uang hasil korupsi disamarkan lewat "crypto mixer" dan "tumbler". Bayangkan sebuah mesin virtual yang mencampur ribuan transaksi orang lain, sehingga uang korupsi bercampur dan keluar lagi sebagai "koin baru" yang tampak bersih. Dari dompet pertama, dana masuk ke mesin, keluar ke dompet kedua, ketiga, keempat, hingga hilang ditelan ratusan alamat. Bukti digital memang ada, tapi siapa pemiliknya? Itulah pertanyaan yang bahkan FBI sering buntu menjawabnya.
Ketiga, dana hasil kejahatan masuk ke dunia DeFi (Decentralized Finance) yang beroperasi tanpa bank, tanpa izin, tanpa regulator. Dengan sekali klik, pejabat itu bisa menukar hasil korupsi jadi token lain, meminjam atas jaminan token, lalu menaruhnya di liquidity pool. Uangnya tetap berputar, bahkan berbunga, seolah-olah halal. Dan kalau aparat mau menyita? Mereka tak bisa menghubungi "pemilik DeFi" karena tidak ada kantor, tidak ada otoritas, yang ada hanya smart contract di server global.
Simulasi keempat, ini yang paling ngeri: hasil korupsi ditukar menjadi NFT atau aset digital unik. Bukan sekadar gambar kucing atau avatar kartun, tapi bentuk tokenisasi properti virtual yang sah di pasar global. Bayangkan ratusan miliar rupiah diparkir di NFT anonim. NFT itu bisa dijual kapan saja dengan harga tinggi, bisa dipindahkan ke dompet lain, bahkan diwariskan ke anak cucu. Semua sah menurut blockchain, tapi aparat hukum kita bisa apa?
Semua simulasi itu bukan fiksi belaka. Kasus Silk Road di Amerika membuktikan betapa sulitnya menyita Bitcoin yang dipakai untuk jual beli narkoba. Kasus pencucian uang lewat crypto di Korea Selatan membuat miliaran dolar hilang tak terlacak. Bahkan Uni Eropa pun sampai harus bikin aturan khusus MiCA (Markets in Crypto Assets) untuk menutup celah ini.
Sekarang bandingkan dengan Indonesia. Apakah RUU Perampasan Aset yang sedang dibahas benar-benar mengantisipasi ini? Atau hanya puas bicara soal rumah, mobil, tanah, rekening bank? Kalau jawabannya hanya aset fisik, maka koruptor bisa tertawa sambil masuk penjara. Mereka tahu: biarlah badan dipenjara, asal harta selamat di blockchain.
Di sinilah kita rakyat harus tegas. RUU ini jangan hanya jadi pemuas amarah publik. Kita harus kawal agar pasal-pasalnya masuk sampai ke dunia crypto, blockchain, DeFi, NFT, hingga sistem digital yang memang jadi markas baru pencucian uang. Kita butuh mekanisme tracing blockchain, kerja sama internasional, integrasi dengan sistem KYC global, sampai pemanfaatan AI untuk deteksi pola cuci uang digital. Kalau tidak, RUU ini hanyalah simbol formalitas yang gagah di judul, cupu di lapangan.
Kalau negara kalah start, maka koruptorlah yang jadi pemenang. Mereka mungkin keluar dari penjara dengan wajah lelah, tapi di luar sana anak cucu mereka sudah menunggu warisan digital yang nilainya tak akan pernah tersentuh hukum.
Pertanyaannya, apakah kita rela? Atau kita akan kawal RUU ini, pastikan ia jadi senjata modern, bukan sekadar kumpulan pasal-pasal usang yang gagal menyentuh kejahatan abad 21?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI