Mohon tunggu...
zulma dwi satrio
zulma dwi satrio Mohon Tunggu... Bapack-bapack anak 3 hobi mengamati kebijakan publik yang jamet dan aneh-aneh

setelah aku ikut mengantarkanmu ke istana, maka aku harus kembali lagi ke mejaku dan penaku selalu mengawasimu

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kawal RUU Rampas Aset Mendobrak Dunia Blockchain !

16 September 2025   03:22 Diperbarui: 16 September 2025   03:22 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi dengan AI

berikut empat simulasi yang membuat kita sadar betapa rapuhnya piranti hukum konvensional ketika berhadapan dengan teknologi blockchain:

pertama, seorang pejabat korupsi atau aktor kejahatan proyek infrastruktur, menerima suap miliaran rupiah. Uang itu tak disimpan di bank, tapi langsung ditukar ke Bitcoin lewat bursa crypto kecil di luar negeri. Lalu dipotong-potong ke ratusan dompet digital. Tiap dompet hanya berisi sedikit, tapi kalau disatukan nilainya triliunan. Aparat kita bisa membekukan rekening, tapi bagaimana cara membekukan dompet tanpa nama, tanpa alamat, tanpa KTP? Di layar blockchain, semuanya sah.

Kedua, uang hasil korupsi disamarkan lewat "crypto mixer" dan "tumbler". Bayangkan sebuah mesin virtual yang mencampur ribuan transaksi orang lain, sehingga uang korupsi bercampur dan keluar lagi sebagai "koin baru" yang tampak bersih. Dari dompet pertama, dana masuk ke mesin, keluar ke dompet kedua, ketiga, keempat, hingga hilang ditelan ratusan alamat. Bukti digital memang ada, tapi siapa pemiliknya? Itulah pertanyaan yang bahkan FBI sering buntu menjawabnya.

Ketiga, dana hasil kejahatan masuk ke dunia DeFi (Decentralized Finance) yang beroperasi tanpa bank, tanpa izin, tanpa regulator. Dengan sekali klik, pejabat itu bisa menukar hasil korupsi jadi token lain, meminjam atas jaminan token, lalu menaruhnya di liquidity pool. Uangnya tetap berputar, bahkan berbunga, seolah-olah halal. Dan kalau aparat mau menyita? Mereka tak bisa menghubungi "pemilik DeFi" karena tidak ada kantor, tidak ada otoritas, yang ada hanya smart contract di server global.

Simulasi keempat, ini yang paling ngeri: hasil korupsi ditukar menjadi NFT atau aset digital unik. Bukan sekadar gambar kucing atau avatar kartun, tapi bentuk tokenisasi properti virtual yang sah di pasar global. Bayangkan ratusan miliar rupiah diparkir di NFT anonim. NFT itu bisa dijual kapan saja dengan harga tinggi, bisa dipindahkan ke dompet lain, bahkan diwariskan ke anak cucu. Semua sah menurut blockchain, tapi aparat hukum kita bisa apa?

Semua simulasi itu bukan fiksi belaka. Kasus Silk Road di Amerika membuktikan betapa sulitnya menyita Bitcoin yang dipakai untuk jual beli narkoba. Kasus pencucian uang lewat crypto di Korea Selatan membuat miliaran dolar hilang tak terlacak. Bahkan Uni Eropa pun sampai harus bikin aturan khusus MiCA (Markets in Crypto Assets) untuk menutup celah ini.

Sekarang bandingkan dengan Indonesia. Apakah RUU Perampasan Aset yang sedang dibahas benar-benar mengantisipasi ini? Atau hanya puas bicara soal rumah, mobil, tanah, rekening bank? Kalau jawabannya hanya aset fisik, maka koruptor bisa tertawa sambil masuk penjara. Mereka tahu: biarlah badan dipenjara, asal harta selamat di blockchain.

Di sinilah kita rakyat harus tegas. RUU ini jangan hanya jadi pemuas amarah publik. Kita harus kawal agar pasal-pasalnya masuk sampai ke dunia crypto, blockchain, DeFi, NFT, hingga sistem digital yang memang jadi markas baru pencucian uang. Kita butuh mekanisme tracing blockchain, kerja sama internasional, integrasi dengan sistem KYC global, sampai pemanfaatan AI untuk deteksi pola cuci uang digital. Kalau tidak, RUU ini hanyalah simbol formalitas yang gagah di judul, cupu di lapangan.

Kalau negara kalah start, maka koruptorlah yang jadi pemenang. Mereka mungkin keluar dari penjara dengan wajah lelah, tapi di luar sana anak cucu mereka sudah menunggu warisan digital yang nilainya tak akan pernah tersentuh hukum.

Pertanyaannya, apakah kita rela? Atau kita akan kawal RUU ini, pastikan ia jadi senjata modern, bukan sekadar kumpulan pasal-pasal usang yang gagal menyentuh kejahatan abad 21?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun