Mohon tunggu...
zulma dwi satrio
zulma dwi satrio Mohon Tunggu... Bapack-bapack anak 3 hobi mengamati kebijakan publik yang jamet dan aneh-aneh

setelah aku ikut mengantarkanmu ke istana, maka aku harus kembali lagi ke mejaku dan penaku selalu mengawasimu

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kawal RUU Rampas Aset Mendobrak Dunia Blockchain !

16 September 2025   03:22 Diperbarui: 16 September 2025   03:22 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi dengan AI

RUU Perampasan Aset sedang jadi primadona politik hukum saat ini. Pemerintah dan DPR sepakat mengusungnya dalam waktu dekat sebagai senjata pamungkas untuk merampas hasil korupsi, pencucian uang, dan kejahatan besar lain. Di atas kertas, gagasan ini terdengar wow, Negara hadir, merampas harta haram, dan mengembalikannya ke rakyat. Tapi mari kita berfikir lebih liar, apakah RUU ini benar-benar siap menghadapi realitas zaman, atau hanya sekadar kosmetik hukum untuk memuaskan amarah publik?

Kita hidup di era ketika uang sudah tak lagi berwujud tumpukan kas di brankas, atau rekening di bank konvensional yang gampang dibekukan. Dunia digital telah membuka ruang persembunyian baru yang hampir mustahil dijangkau dengan piranti hukum lama. Blockchain, crypto, aset digital, dan jaringan pencucian uang yang bermain di ruang maya tanpa paspor. Koruptor hari ini bukan lagi sekadar menyembunyikan uang di rekening luar negeri atau membeli properti atas nama boneka. Mereka bisa mengubah hasil kejahatan menjadi token digital, memecahnya jadi ribuan dompet kecil, mengaburkannya lewat "mixer" dan "tumbler", lalu memindahkannya lintas benua dalam hitungan detik. Semua tercatat, tapi tak ada yang bisa disentuh.

Pertanyaannya: apakah RUU Perampasan Aset ini siap menyapu kompleksitas itu?

Mari kita belajar dengan kasus di luar negeri. Di Amerika Serikat, otoritas sudah berulang kali kesulitan melacak aliran dana hasil kejahatan yang disembunyikan lewat Bitcoin dan Monero. Bahkan FBI yang punya teknologi canggih pun butuh waktu bertahun-tahun hanya untuk menembus sebagian kecil jaringan. Di Eropa, kasus pencucian lewat bursa crypto bayangan (shadow exchanges) membuktikan betapa gampangnya uang gelap dicuci hingga terlihat bersih. Dan di Asia, kartel narkoba sudah lama menggunakan crypto untuk memutar keuntungan haram, semuanya sahih di mata sistem blockchain, tapi tak terlihat oleh hukum nasional.

Sekarang bayangkan Indonesia. Aparat kita selama ini sudah kepayahan hanya sekadar membekukan rekening perbankan koruptor. Lalu bagaimana dengan dompet digital anonim yang bahkan pemiliknya tak perlu menunjukkan KTP, cukup koneksi internet dan password? Bagaimana dengan sistem DeFi (decentralized finance) yang beroperasi tanpa otoritas, tanpa izin, tanpa regulator? Kalau ini tidak disentuh RUU, maka perampasan aset hanyalah sekedar kata kata dan tumpukan pasal. Kejahatan atau koruptor bisa tetap tertawa, karena walaupun dipenjara, harta digitalnya tetap aman di server luar negeri.

Di sinilah rakyat harus turun tangan. Kita tidak boleh hanya jadi penonton ketika RUU ini dibahas. Kita harus mengawal agar isinya memasukkan mekanisme canggih: pengaturan tracing blockchain, kerja sama internasional, kewajiban integrasi dengan sistem KYC global, hingga pemanfaatan AI untuk mendeteksi pola pencucian uang digital. Kalau tidak,Hukum akan selalu kalah start. Saat aparat sibuk menyita rumah, mobil, atau rekening, para pelaku kejahatan justru sudah memindahkan miliaran dolar ke jaringan DeFi yang tidak tersentuh.

Dan jangan lupa stigma lama: banyak koruptor justru berpikir "biarlah masuk penjara, asal harta tetap selamat." Mental ini makin berbahaya jika harta itu disembunyikan dalam crypto yang tidak bisa disentuh hukum. Apa gunanya mereka dihukum, kalau setelah keluar panjara tetap menikmati hasil rampasan dalam bentuk digital wallet yang tak terbuka oleh negara?

Karena itu, RUU Perampasan Aset harus dikawal rakyat dengan kacamata yang lebih tajam. Jangan biarkan DPR hanya mengesahkan aturan yang gagah di podium tapi klasik di prakteknya. Kita harus paksa mereka menulis pasal-pasal yang menyapu ke dunia blockchain, crypto, NFT, hingga sistem keuangan digital yang sudah jadi ladang baru pencucian uang. Jika tidak, maka RUU ini hanya jadi drama politik---indah di teks, tapi gagal menyentuh kenyataan.

Kita sedang ada di persimpangan, apakah Indonesia siap menghadapi bentuk baru kejahatan yang secanggih blockchain, ataukah kita puas dengan undang-undang kosmetik yang hanya memburu aset fisik sementara harta digital haram terus bersembunyi dengan aman?

Simulasi Cuci Uang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun