Mohon tunggu...
Zulfikar
Zulfikar Mohon Tunggu... Orang Biasa

Menyukai hal-hal sederhana, dan tidak meyukai hal-hal rumit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangan Kecil Fauzi

28 Agustus 2025   10:36 Diperbarui: 28 Agustus 2025   10:36 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Fauzi (Sumber: Sora)

Suasana sore di Yogyakarta kala itu begitu teduh. Matahari yang mulai condong ke barat menebarkan sinarnya lewat sela-sela jendela kayu tua di ruang kelas Sekolah Dasar Muhammadiyah. Ruangan sederhana itu dipenuhi suara lantunan ayat suci. Anak-anak duduk bersila, mushaf kecil di pangkuan, mata mereka mengikuti deretan huruf hijaiyah yang mengalir dalam bacaan.

Di barisan depan, seorang bocah bernama Fauzi terlihat begitu tekun. Tangannya kecil, wajahnya bersih, matanya jernih. Usianya baru sepuluh tahun, namun sorotnya memancarkan kedewasaan yang jarang dimiliki anak seumurannya. Sejak ayahnya meninggal beberapa bulan lalu, Fauzi semakin rajin beribadah. Setiap kali membaca Al-Qur'an, ia selalu mengirimkan doa untuk sang ayah yang kini beristirahat di alam keabadian.

"Bapak pasti senang kalau Fauzi rajin mengaji," begitu katanya setiap kali ibunya menatapnya sambil menahan haru.

Fauzi bukanlah anak yang menonjol dalam hal pelajaran. Nilainya biasa saja, tubuhnya pun kurus kecil. Namun ada satu hal yang membuat semua orang mengenalnya: hatinya yang tulus. Ia selalu lebih dulu membantu teman yang kesulitan, entah sekadar meminjamkan pensil, berbagi bekal, atau menenangkan teman yang menangis.

Hari itu, suasana mengaji berjalan seperti biasa. Fauzi duduk di samping sahabatnya, Rizal, anak yang terkenal suka bercanda. Namun kali ini Rizal pun terlihat khusyuk.

"Fauzi, setelah ini kita main bola, ya," bisik Rizal dengan senyum kecil.

Fauzi mengangguk sambil tersenyum. "Boleh, tapi jangan lupa shalat Magrib dulu. Kita main setelah itu."

Mereka berdua terkekeh pelan, lalu kembali menunduk pada mushaf masing-masing.

Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Dari langit-langit ruangan, terdengar bunyi krek... krek..., seperti kayu yang ditekan beban berat. Beberapa anak berhenti membaca, menoleh ke atas."Ada apa, ya?" tanya seorang murid di barisan belakang.

Sebelum sempat ada yang menjawab, suara retakan makin keras. Debu-debu beterbangan, dan tiba-tiba saja atap kayu yang rapuh itu berguncang. Dalam sekejap, kepanikan pecah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun