Mohon tunggu...
Zulfa Salman
Zulfa Salman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis | Mahasiswa

Senang menjahit kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keadilan Bagi Sang Pengadu

13 April 2024   09:32 Diperbarui: 13 April 2024   09:35 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arabian Night oleh Mary Sedici (Sumber: Fine Art America) 

Kampung kami punya jawara, bukan pendekar silat atau dukun mantra guna-guna seperti kampung sebelah itu. Sabiha namanya, pendatang dari desa di peradaban lembah Sungai Nil yang berkilau, konon katanya sungai itu adalah tempat pemandian Dewa-Dewi kuno. Setengah abad yang lalu dia datang, mencari ilham hingga ke pelosok Jawa. Kawanan awan dan rasi bintanglah yang membawa kakinya hingga memijak kampung kami, Yang Dibumi.

Sabiha, wanita berwajah seribu, kata orang. Suatu malam ia mengetuk pintu demi pintu, pondok demi pondok, sebagai pendongeng, Sang Penutur Kisah. Di lain purnama ia menari kesetanan, Sang Pengantar Kematian. Lalu menjelma menjadi pendeta, Pembawa Ilham. Namun, semua tahu, wajahnya yang abadi... Sang Pengadu.

Sabiha, orang-orang memujanya... juga takut pada murkanya. Ia diagung-agungkan, ia juga dibuang. Diasingkan.

Sabiha...

"Ita, Ita!" 


Lamunan Ita pecah berkeping-keping. Ia menyeka keringatnya yang telah bercampur daki dan abu. Dengan jubah katun kusamnya yang tadinya berwarna putih, Ita menenteng ketel yang baru saja mendidih. Menuangkan isinya ke dalam gelas tembaga berisi rempah dan bunga.

"Ita!!!" Suara melengking itu kian menjadi, mendesak yang dipanggil untuk bergegas. Ita mengaduh, mengangkat gelas yang sudah dialasi pisin. Gelembung-gelembung masih beriak di dalam gelas. Uap mengepul hingga menutupi wajahnya. Wajahnya yang sudah lembap kian basah karena dikukus uap teh.

"ITA!"

"Iya!" Dengan langkah kecil-kecil ia terbirit menuju asal suara.

"Lelet," tukas si wanita yang tadi meneriakinya. Dengan kasar merebut pisin itu dari Ita. Sambil mengaduk-aduk tehnya dengan sendok kayu, wanita itu mendumel. "Bau. Kecil. Hitam. Jelek. Pergi kau ke pasar, Ita. Carikan anjing kampung paling buluk. Kau cukur bulunya. Kau cari kutunya. Bawa cermin. Kalau kau pintar, kau ngerti, bagus. Setidaknya otakmu ada se-emprit."

Ita dalam diam melirik majikannya, bibir wanita itu monyong-monyong tiap mengomel, hidungnya mengerut persis seperti tiap kali pergi melewati kandang babi, matanya menyipit seolah sedang berusaha keras mencari kesalahan yang sebenarnya tidak ada.

Si wanita melirik Ita, wajahnya makin keji. "Tidak pergi, hm?! Tidak pergi?!"

Ita mencium tangan majikannya, yang langsung disentak sebelum bibir Ita menyentuh punggung tangan dengan jari-jemari penuh batu mulia itu.

Ita pergi ke pasar segera, bersama Bona, babun berumur lima tahun yang diperintahkan untuk memakan Ita kalau sampai gadis kecil itu kabur. Tapi Ita ke pasar bukan untuk mencari anjing kampung. Ia tahu majikannya tidak benar-benar menyuruhnya mencari kutu anjing. Sebab, pertama kali bekerja di sana, hari ke-tujuh di awal tahun Matahari. Ita membawakan sekantung kutu anjing dan sebuah cermin seperti yang diperintahkan, lalu tiba-tiba ia digampar tujuh kali di pipi, dan tiga kali di kepala sampai pelipisnya berdenyut-denyut. Telinganya berdenging, pandangannya berbayang, kemudian ia kehilangan keseimbangan. Lalu pingsan dan tak sadarkan diri tiga hari. Selama itu ia tidak makan dan tidak digaji.

Ita menoleh pada Bona yang sedang menggali tanah seperti anjing. "Besok, deritaku usai, Bon. Usai."

Bona hanya meliriknya balik dengan sepasang mata yang cerah. Ita tidak paham kenapa Bona disuruh untuk menjaganya. Padahal tak sekali pun Bona pernah memakan jarinya, meski sudah ia sodorkan gegara ia kabur sekali untuk main ke sungai bukannya mengantar pesan untuk paman majikan.

"Kau pun juga, Bon. Deritamu usai esok." Ita berkata dengan sungguh-sungguh.

Bona tak acuh dan kembali menggaruk pasir.

*

Lapangan kampung sesak oleh warga. Semuanya mengelilingi panggung kayu tinggi dengan algojo bertelanjang dada berdiri di sisi seekor monyet besar yang mencicit ketakutan. Di samping kiri si monyet, berdiri seorang wanita beralis elang yang memegangi rantai leher monyet itu sambil mengernyit jijik. Dua pelayannya sibuk mengipasi.

Ita berdiri di antara kerumunan, barisan paling depan. Air mata mengalir deras, bahunya berguncang hebat, dan tangan mungilnya membekap mulutnya sendiri agar tak meraungkan nestapa. 

"Kau tahu apa yang terjadi sampai-sampai seekor babun diadili untuk dipenggal?" Sebuah suara manis mengalun di telinga Ita. Mata gadis kecil itu masih terpaku pada mata Bona yang berkilau. Apakah itu air mata? Ita bertanya-tanya. Apakah bila ia menatap ke sepasang bola mata itu, ia akan menemukan ketakutan bersinar dari dalamnya? Ita penasaran.

"Aku bertanya padamu," suara itu terdengar lagi. Kini agak memaksa.

"Bona ketahuan mencuri kalung zamrud majikan. Aku yang suruh."

"Kenapa kau tidak ikut dihukum?"

"Sebab aku yang bilang." 

"Hadiah apa yang kau pinta?"

"Mardika."

Suara bilah tajam membelah daging dan tulang memecah obrolan yang sahut-menyahut. Semua orang menahan napas. Kepala Bona menggelinding ke depan panggung. Darah membanjir. Mantan majikan Ita meninggalkan panggung, wajah kuning langsatnya terlihat pucat, jelas sekali ia hendak memuntahkan isi perutnya.

Ita menatap mata Bona yang membelalak, sesaat. Lalu ia menyeka air matanya. Ita mendongak dan mendapati wajah bidadari sedang memandangnya dengan terkejut. Namun, percayalah, Ita jauh lebih terkejut, sebab ia tahu siapa pemilik sepasang mata cantik itu dan si pemilik tidak sedang menghakimi.

"Kau mirip denganku," katanya, seraya mengedipkan matanya berkali-kali. Sinar takjub berpendar dari matanya hingga membasahi wajah Ita.

*

Kulitnya semerah tembaga, bermandikan darah bangsanya yang terbantai akibat lisannya. Matanya bersinar keemasan, mata itu adalah Mata Tuhan. Konon, Tuhan melihat melaluinya... menelanjangi para pendosa dan mereka yang mengaku suci. Rambutnya hitam kelam, lebih hitam dari dasar lautan, dari abu dan arang, rambut yang diwarnai oleh jasad-jasad bangsanya yang terbakar habis. Bibirnya hitam, bibir yang telah menjatuhkan hukuman bagi setiap insan. 

Sabiha.

Wanita itu, kini berada di hadapan Ita yang terguncang hebat. Tidak ia sangka hari ini datang begitu cepat. Sabiha mencari pelayan baru, oleh karena itu Ita telah rencanakan hari ini dengan matang. Namun tak ia sangka, tangan takdir bermain dalam hidupnya, mendahuluinya. 

"Mari," wanita bermata cemerlang itu melambaikan tangannya pada Ita. Gestur yang begitu halus. Ita bergeming. "Antar aku ke pasar. Aku bosan dengan mereka," ucap Sabiha sambil melirik deretan pelayannya. "Tapi wanita baik-baik tidak pergi tanpa pelayan."

Ita menggeleng. "Wanita kaya," sanggahnya.

Sabiha tersenyum tipis. "Diam. Aku tidak izinkan kau bicara. Kini kau pelayanku."

Bulu kuduk Ita meremang melihat bibir hitam itu tersenyum namun matanya memancarkan aura mematikan. Tapi Ita suka rasa takut itu. Ita menikmatinya.

*

Ita melihat ke sekeliling. Pasar adalah pasar, tidak pernah sepi. Pagi berganti siang, siang berganti malam. Keramaian tetap hinggap di sana, hanya isinya yang silih berganti. Ita dan sang majikan baru tidak berhenti, masuk, kian dalam ke bagian tergelap di pasar. Ita menoleh ke belakang, keramaian sudah hilang. Haya ada pria dan wanita yang mengenakan kain yang dililit untuk menutupi perut dan kaki. Tetapi, mereka bertelanjang dada. Pertanda kaum murba. 

Kemudian ia disuruh menunggu dan berjaga di mulut pintu suatu pondok. Sabiha masuk seorang diri. Sementara Ita mengamati orang-orang berbalut satin dan sutra memasuki pondok. Ia akan menunggu sampai majikannya keluar saat matahari terbenam. Keesokan harinya pun sama, juga esok dan esoknya lagi. Tapi Ita tidak pernah bertanya. Gerangan apa yang terjadi di dalam sana.

"Usiaku genap 75 tahun," ujar Sabiha, sedang memakai gelang di depan cermin tembaga. "Tiga puluh tiga hari sudah kau menemaniku ke sana. Bukankah kau ingin tahu apa yang kulakukan? Dengan siapa aku bertemu?"

Ita mengangguk.

"Carikan... siapa yang menukil permata dari tusuk rambut ini... carikan dan bawa. Kau akan tahu, segala apa yang kuketahui."

Ita mengangguk lagi. Lalu ia pergi. Tiga hari kemudian Ita datang pada Sabiha dengan seorang wanita yang cantik rupanya, kusam wajahnya, dan berantakan gaunnya. Wanita itu terbaring di tanah, dengan tangan Ita mencengkeram erat rambut hitam panjangnya. 

"Dia," ujar Ita, melirik singkat si wanita yang telah kering air matanya.

Sabiha berjongkok, meraih tangan si wanita yang mengepal, dan membuka kepalan tangan itu. Sebuah batu permata merah delima yang sempurna ukirannya ternyata ada dalam genggaman itu.

"Cantikku," gumam Sabiha, merindu. 

Sabiha mengantungi batu itu ke dalam kantung sutranya. Kini ia telah sepenuhnya menaruh perhatian pada Ita dan tamu tak diundangnya. "Tinggalkan ia di sana. Kau... pinta air hangat dan tujuh rupa pada Kusi. Aku yang suruh. Esok kau harus cantik," tutur Sabiha, lembut. Dengan titah itu, Ita terusir dari ruangan. 

Wanita cantik yang dibawa Ita mendongak untuk menatap Sabiha, kebencian menyala-nyala di kedia matanya. "Kau... akan menyesal..." katanya.

Sabiha tersenyum lebar. "Wanita cantik tidak pernah menyesal. Karena mereka tidak pernah salah... kau bersalah. Aku menghakimi. Dosamu bukan mencuri batuku-"

"Pelayanmu yang menaruh batu itu di tanganku!"

"Dosamu... adalah... hidup."

Ita menyaksikan dari balik dinding, darah mengalir dengan hening dari leher yang menganga. Ita tidak tahu dendam apa yang majikannya simpan... rahasia apa yang majikannya sembunyikan. Ita memilih diam. Abdi yang setia tidak pernah melawan.

*

Aneh. Ita berdiri lagi di tempat yang sama. Di depan panggung. Menjadi saksi. Hanya saja, Bona tidak ada di atas sana. Yang ada adalah kepala dengan rambut hitam panjang menjuntai. Sebilah pedang diletakkan di atas lehernya. Menunggu pengadilan.

"Kesempatan terakhir untuk membela diri, penyihir," perintah suara serak dari seorang pria tua. Ita tahu, itu ayah si wanita cantik yang menuntut haknya. Namun, Sabiha hanya tersenyum simpul. Matanya berpapasan dengan mata Ita.

"Gadis itu... pelayanku... akan bersaksi untukku."

Semua orang menatap Ita. Tangannya basah. Gemetar. Pupil mata gadis kecil itu bergerak ke sana kemari. Perasaan asing yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Tapi, apa ini? Adrenalin yang mengalir di balik kulitnya. Ledakan kesenangan yang tidak ia kenali. 

Sabiha masih tersenyum.

Ita menatap lurus majikannya. "Sabiha. Sabiha yang melakukannya."

Senyum itu melebar, hampir tertawa. Kepalanya menggelinding ke bawah kaki si gadis kecil. Darahnya mengaliri kedua telapak kaki si gadis yang telanjang. Gadis kecil itu terdiam. Senyap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun