Laut punya ribuan warna biru. Saya sering memperhatikannya. Ada biru yang pucat dan lembut saat fajar, saat perahu-perahu nelayan baru berangkat. Ada biru yang sombong dan berkilauan saat tengah hari, menyilaukan mata. Ada biru yang kelam dan mengancam menjelang badai.
Kita menyebut semuanya "biru", sebuah konsep universal yang semua orang mengerti. Tapi tak ada satu pun warna biru itu yang bisa menggantikan warna biru yang lain. Masing-masing unik dalam momennya.
Mungkin perasaan itu juga begitu. Ia sebuah "rasa" yang universal, yang bisa dipahami semua orang. Tapi ia hanya bisa kita alami lewat satu sosok yang unik, lewat "biru" kita satu-satunya. Biru yang terpatri di retina batin kita.
Keunikan itu baru terasa menyakitkan saat ia pergi. Saat sosok itu hilang. Saat "biru" itu direnggut dari pandangan kita.
Jika perasaan ini universal, jika cinta itu banyak, kenapa kita tidak bisa begitu saja memindahkannya ke orang lain? Kenapa hati terasa bolong, seperti sebuah kota yang ditinggalkan penghuninya? Dunia menjadi abu-abu. Makanan terasa hambar. Musik hanya jadi kebisingan.
Ruang kosong yang ditinggalkannya membuktikan sesuatu: bahwa yang kita cintai bukanlah konsep "cinta" itu sendiri. Yang kita cintai adalah dia. Sosok spesifik itu. Tempat di mana perasaan universal itu memilih untuk bersemayam dan menjadi nyata.
Orpheus tidak akan turun ke neraka untuk sembarang arwah. Ia menempuh perjalanan mengerikan itu hanya untuk Eurydice-nya. Rasa sakit karena kehilangan menjadi bukti paling sahih dari keunikan sang terkasih.
Ia adalah sisi gelap dari keajaiban itu. Ia adalah harga yang harus dibayar. Rasa sakit itu adalah gema dari tawa yang pernah ada, bayangan dari cahaya yang pernah begitu terang.
Lalu datanglah dunia dengan nasihatnya yang baik hati. "Jangan sedih terlalu lama." "Masih banyak ikan di laut."
Mereka mencoba menghibur dengan mengingatkan kita pada universalitas cinta. Mereka menyodorkan cangkir-cangkir lain, seolah lupa bahwa yang hilang bukanlah cangkirnya, melainkan seluruh lautan yang ada di dalamnya.
Mereka tak mengerti. Bahwa mencoba mengganti sosok itu sama mustahilnya dengan mencoba melukis ulang warna biru laut saat fajar tadi pagi. Momen itu sudah lewat. Keunikan itu abadi dalam ketiadaannya.