Mohon tunggu...
Zofrano Sultani
Zofrano Sultani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Historian, Researcher, Research Consultant, and Social Observer

Follow my Instagram: zofranovanova94. The researcher has an interest in the fields of East Asian History, South Asian History, the History of International Relations. and International Political Economy. He is an alumnus Bachelor of Arts in History degree currently pursuing a postgraduate in the field of socio-politics with a hobby of reading books, watching movies, listening to music, and foodies. Education level has taken: Private Kindergarten of Yasporbi II Jakarta (1998-1999), Private Elementary School of Yasporbi III Jakarta (2000-2006), Public Junior High School 41 Jakarta (2006-2009), Private Senior High School of Suluh Jakarta (2009-2012), and Department of History, Faculty of Social Sciences, State University of Malang (2012-2019). He has the full name Zofrano Ibrahimsyah Magribi Sultani.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membendung Gerakan Intoleransi dan Radikalisme Anak Muda: Strategi dan Gebrakan Inovasi oleh Kementerian Agama RI

10 Januari 2021   08:09 Diperbarui: 23 Januari 2021   10:46 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Narasi mayoritanisme adalah pola pikir atau perilaku yang menunjukkan kecenderungan arogan, despotik dan superior serta merasa diri paling berkuasa di dalam struktur sosial dan budaya. Ekspresi sosial itu muncul dilatari oleh kesadaran komunal bahwa kelompok yang berjumlah banyak harus selalu lebih dominan dan diistimewakan dari kelompok dengan jumlah lebih sedikit termasuk pengambilan keputusan politik yang menggunakan voting. Tirani mayoritas adalah patologi sosial masyarakat Indonesia kontemporer yang acapkali menjadi batu sandungan bagi terciptanya tata kehidupan sosial-politik yang harmonis dan egaliter di dalam hidup bermasyarakat. Pendasaran atas teks suci keagamaan merupakan pendasaran yang cukup meyakinkan yang dilakukan oleh para pelaku radikalisme-terorisme keagamaan yang menghasilkan perilaku intoleran dalam hidup bermasyarakat. Terdapat multi tafsir atas teks keagamaan namun yang dipergunakan oleh para pelaku terorisme dan kekerasan agama adalah pemahaman yang mendukung kekerasan diperbolehkan untuk dilakukan atas orang lain sebagai bentuk membela agama bahkan membela Tuhan atas nama teks suci pada kitab suci. 

Mark Juergen Meyer (2003) dalam Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (Comparative Studies in Religion and Society), ahli soal gerakan revivalisme keagamaan menuliskan bahwa ada kerancuan yang mendasar terkait doktrin keagamaan yang dipahami sebagai basis legitimasi untuk berbuat kekerasan atas negara (states) yang dianggap sekular. Hal yang sama juga dikemukakan oleh R. Scott Appleby (2003) yang berjudul The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence and Reconciliation, ketika menyatakan bahwa ada ambivalensi dalam doktrin suci keagamaan dengan kekerasan yang dilakukan. Mendasarkan pada beberapa kasus seperti di Ambon, Poso, Solo, Jakarta, Kota Medan dan kabupaten/kota lainnya di Indonesia, kemunculan intoleransi dan radikalisme Ini lantaran sentimen tirani mayoritanisme umumnya mengejawantah ke dalam praktik social exclude, yakni praktik pengucilan sosial yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap minoritas. 

Kelompok mayoritas, dengan kekuatan massa dan posisi tawarnya akan melakukan tindakan pengucilan (exclution) terhadap kaum minoritas yang memiliki sistem kepercayaan atau keyakinan yang tidak sejalan dengan pandangan arus utama (mainstream) bisa se-enak e dewe melakukan persekusi, menjudge kafir, dan melarang dibangun rumah peribadatan umat non Islam di lingkungan sekitar (lihat gambar 1) apalagi mengusir individu/kelompok sosial yang berbeda dari lingkungan tempat mayoritas bermukim. 

Gambar 1. Penyegelan GKI Yasmin Bogor oleh Masyarakat Sekitar (Sumber: Getty Images).
Gambar 1. Penyegelan GKI Yasmin Bogor oleh Masyarakat Sekitar (Sumber: Getty Images).

Dengan diangkatnya H. Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama Republik Indonesia diharapkan oleh publik Indonesia mampu meredam gerakan intoleransi dan radikalisme anak muda. Strategi jitu yang harus ditempuh Pak Yaqut adalah relasi keberagamaan yang bertumpu pada rasa saling memahami, simpati, empati, dan mengedepankan sikap inklusif-dialogis dalam menyikapi perbedaan dengan memperkuat Forum Kerukunan Umat Antar Umat Beragama (FKAUB) dan menggandeng Duta Pemuda, Duta Kampus, Duta Sekolah, maupun Duta Damai Provinsi/Kabupaten/Kota (lihat gambar 2) menyampaikan pesan-pesan perdamaian, nilai-nilai Pancasila, dan kontekstual ayat kitab suci tanpa melulu melakukan serangkaian seremonial, misal berkunjung ke tempat peribadatan. Strategi itu sangat rasional untuk kehidupan beragama di Indonesia yang lebih toleran, damai, tidak diskriminatif, setara, menganggap yang berbeda keyakinan sebagai saudara dalam kemanusiaan, kebebasan beragama, dan kepedulian sosial bagi siapa pun masyarakat yang membutuhkan. 

Gambar 2. Duta Damai Provinsi Jawa Timur (Sumber: Instagram Duta Damai Jawa Timur).
Gambar 2. Duta Damai Provinsi Jawa Timur (Sumber: Instagram Duta Damai Jawa Timur).

Sementara itu, Sekretaris Majelis Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia, Ramli belum ingin memberikan komentarnya perihal Yaqut yang baru saja dilantik sebagai menag. "Saya tahu beliau dari kelompok yang tolerir [Nahdlatul Ulama/Banser]. Tapi belum bisa kasih komentar dulu" kata Ramli kepada Tirto, Rabu (23/12/2020). Di dalam buku Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah yang ditulis Vedi R. Hadiz (2019), populisme Islam merupakan aliansi multikelas yang asimetris yang mengidentifikasi dirinya sebagai umat (the ummah) vis-a-vis elite sebagai respons atas kontradiksi sosial dalam pembangunan kapitalisme kontemporer berbasis neoliberalisme sehingga kelompok yang mengidentifikasi sebagai umat seperti FPI (Front Pembela Islam) dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) sebenarnya merupakan kelompok yang merasa termarjinalisasi di dalam perekonomian nasional dengan menyuarakan kemarjinalisasiannya melalui Aksi Bela Islam. Populisme Islam juga melakukan mobilisasi dan homogenisasi beragam ketidakpuasan "massa" yang sangat berbeda-beda melawan "elite" tertentu. 

Dalam kasus di Indonesia di tahun 2017 "massa" yang mengidentifikasi organisasi/kelompoknya sebagai umat Islam Indonesia menarasikan solidaritas keagamaan dalam bentuk melawan elit pemerintahan Joko Widodo yang membiarkan penistaan agama Islam oleh Basuki Tjahja Purnama dibiarkan tanpa dijerat hukum pada waktu itu. Namun homogenisasi dalam populisme Islam di Indonesia selama kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahja Purnama sampai sekarang tidak terjadi lewat the people, melainkan the ummah (umat). Dalam fakta sosio-historis, populisme islam konsep "umat" digunakan menggantikan konsep the people. Meski umat kerapkali dipahami dalam kerangka supranasional, namun seiring munculnya gerakan Islam melalui perjuangan nyata mendorong perkembangan pemahaman yang lebih bersifat nasional. Pemahaman semacam itu diperlukan agar dapat menjembatani kepentingan sosial yang beragam dan saling bertentangan.

Analisis dari Center for Religious and Crosscultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (2017) menunjukkan keberhasilan kelompok radikal dalam menyebarkan ideologinya. Adapun cara-cara yang digunakan adalah dengan pola baru misalnya, pola reproduksi jaringan paham radikal sering kali memanfaatkan tindakan permisif masyarakat terhadap ideologi radikal yang terjadi ketika persoalan-persoalan struktur, kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan semakin menghimpit kehidupan mereka. Menurut Giuseppe Carbone (2015) dalam Democratisation as a State-Building Mechanisme: A Preliminary Discussion of an Understudied Relationship di jurnal Political Studies Review, Vol. 13 (2014), pp. 11-21, di dalam mekanisme demokratisasi sebuah negara yang memiliki format asli demokrasi memiliki nationhood yang diwadahi oleh sebuah statehood. Namun, di Indonesia pasca Soeharto, demokratisasi yang berkembang sebagai statehood yang mewadahi berbagai face of nationhood menyebabkan berkembangnya nasionalisme agama dan nasionalisme kedaerahan seperti primordialisme dan radikalisme. Mengapa begitu? karena Indonesia operasi demokratisasi di bawah nationhood senantiasa lebih sempit daripada domain statehood Indonesia yang bisa mengelola proses demokrasi meskipun terdapat nasionalisme agama dan nasionalisme kedaerahaan. Untuk mengatasinya, Kementerian Agama Republik Indonesia berperan membangun sistem pelayanan keagamaan antarpublik dengan melakukan gebrakan inovatif melalui pendekatan anak muda.

Gebrakan inovatif yang mesti diambil oleh Kementerian Agama Republik Indonesia adalah dengan deradikalisasi agar lebih fokus pada pemberdayaan ekonomi semua yang menjadi sasaran, perombakan muatan materi buku teks agama Islam dari tingkat sekolah hingga perguruan tinggi dan pengawasan secara ketat bagi pembuat buku-buku keagamaan umum, memberangus hoaxs melalui kerjasama Kementerian Komunikasi dan Infomatika Republik Indonesia dan Polisi Republik Indonesia, mengajak pihak sivitas akademik untuk membina anak-anak muda melalui Al-Quran Study Club (ASC) dengan mentor yang bebas dari paham radikal dan memiliki visi Pancasilais, mengadakan sertifikasi penceramah yang lulus dari pondok pesantren dan universitas/sekolah tinggi melalui pendidikan dan pelatihan yang diadakan oleh Dinas Agama Provinsi/Kabupaten/Kota, dan aktif mengampanyekan melalui infografis dan informasi di media sosial berkaitan dengan Pancasila, Islam, Non Islam, dan Toleransi.

Di dalam artikel Endang Supriadi, Gufron Ajib, dan Sugiarso (2020) deradikalisasi juga harus melibatkan keluarga dan lingkungannya. Keluarga tentu harus diberikan kesadaran dalam persoalan hidup mereka. Terorisme adalah ujung dari ekstrimisme yang dimulai dari intoleransi, maka pendidikan keluarga menjadi basic yang utama yang mengajarkan pendidikan agama dan Pancasila, diperlukan keluarga yang memiliki tingkat pendidikan tinggi. Pendidikan di dalam keluarga memberikan aspek afeksi sehingga anak merasa nyaman berada di dekat ibu dan ayahnya. Pendidikan toleransi harusnya sudah ditekankan sejak dini mulai dari lingkungan keluarga karena keluarga adalah agen pertama pendidikan luar sekolah. Pendidikan toleransi juga harus ditekankan di sekolah dasar hingga perguruan tinggi sebagai pendidikan sepanjang hayat melalui Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah, dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Sistem pendidikan nasional harus disusun agar dapat menerapkan rasa toleransi sejak dini. Apabila masyarakat sudah terbentuk menjadi masyarakat yang toleran, tentu pemerintah akan membuat kebijakan berkeadilan yang tidak hanya memihak satu pihak. Dengan demikian hukum akan tegak karena kesadaran masyarakatnya yang memahami toleransi dalam kontekstual hidup bermasyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun