Katanya jaman sudah semakin canggih. Dulu gawai dianggap barang mewah, yang memilikinya tentu saja orang kaya di kalangannya. Kalaupun ada pelajar atau masyarakat yang memiliki kadang hanya sebagai gaya-gayaan saja. Istilahnya gawai bagus tapi tak ada pulsa.
Sekarang, gawai jadi kebutuhan. Setiap kalangan dari atas sampai bawah semua punya. Anak balita saja kadang sudah dibelikan gawai oleh orang tuanya. Alasannya, selain agar anak anteng, juga katanya biar tidka ketinggalan jaman.
Apakah kecanggihan teknokogi ini yang membuat minat baca menurun? Entahlah. Tali, yang pasti, kegiatan membaca ini mulai ditinggalkan walau komunitas banyak yang menggalakkan. Katanya membaca sekarang beralih dari gawai, buktinya malah scroll sosial media tanpa jeda.
Waktu masih kuliah, setiap pulang kampung selama di kereta (iya, saya kadang dulu pulnag kampung pakai kereta api, karena memang baru buka jalurnya) saya selalu membawa satu atau dua buku untuk dibaca. Entah dibaca sekilas atau  kalau menarik bisa lama dibaca.Â
Kalaupun pulang naik bus, buku tetap saya bawa. Kalaupun selama di perjalanan tidak membaca, biasanya saya memperhatikan dan menikmati perjalanan. Setiap papan reklame, plang toko, atau apapun itu, tak terlewati saya baca. Pernah saya berkunjung ke tempat kakak di luar propinsi, hanya berbekal SMS lewat gawai dan bantuan papan reklame. Maksudnya dengan membaca reklame tersebut, kan kita jadi tahu sudah sampai mana. Papan nama toko biasanya di bawahnya menulis alamat, nah dari situlah patokan saya ketika ditanya oleh kakak sudah sampai mana.
Kembali ke kereta. Kereta apalagi jika melihat KRL di Jabodetabek saat sesak memang tak memungkinkan untuk memegang buku. Bisa berdiri saja sudah syukur. Namun, tetap saja masih ada kok satu dua penumpang yang dengan segala daya dan upaya berusaha membaca buku. Langka memang tapi ada.
Jika dibandingkan negara Jepang tentu sangat jauh berbeda. Jepang penduduk ya sangat gila baca sementara kita entahlah, hampir gila yang ada. Hahaha.
Kebiasaan membaca buku ini sebenarnya kembali ke pola asuh. Kenapa saya katakan demikian? Coba lihat anak kecil di sekitar kita, berapa banyak dari mereka yang lebih diutamakan membaca buku dibandingkan dengan gawai. Saya kira banyak yang memberi gawai. Ya itu tadi, dalih agar anak anteng atau memang orang tuanya sendiri yang tidak hobi membaca.Â
Saya pernah mendengar seorang ibu yang bilang begini ke anaknya, "buat apa sih beli buku banyak-banyak. Menghabiskan uang saja. Mending uangnya dipakai untuk yang lain", miris bukan?
Budaya membaca buku ini, jangankan di kereta, di tempat umum atau di rumah saja kadang jarang ditemui. Ada tapi belum marak. Semoga kita menjadi salah satu penggerak agar kegiatan membaca buku ini kembali menjadi kegiatan menyenangkan, dirindukan, dan menjadi sesuatu hal yang bukan langka lagi.