Mohon tunggu...
Aryazeyla rachayudiza
Aryazeyla rachayudiza Mohon Tunggu... Freelancer

Berbagi ruang opini untuk mengembangkan eksplorasi pikiran dan wacana publik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bagaimana Bisa Media Sosial Menghubungkan Tapi Juga Memecah?

9 Oktober 2025   00:12 Diperbarui: 9 Oktober 2025   08:16 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial hari ini ibarat dua sisi mata uang  — satu sisi menghubungkan, sisi lain bisa memecah.

Kita bisa tertawa bersama lewat video lucu, tapi satu scroll berikutnya langsung panas debat soal politik, agama, atau gaya hidup. Aneh, ya? Tempat yang katanya “menghubungkan” malah bisa jadi sumber “pecah belah”. 

Lalu... Kok bisa begitu? bagaimana ini bisa terjadi? 

Yuk, kita telusuri dari berbagai sisi: sosial, budaya, ekonomi, hukum, dan etika.

1. Sosial: Koneksi yang Terlalu Dekat Bisa Menyakitkan

Media sosial memang membuat jarak terasa lenyap. Kita bisa terhubung dengan keluarga jauh, ikut aksi sosial, atau menyebarkan kabar baik dalam hitungan detik.

Namun, di balik koneksi itu ada jebakan algoritma. Kita hanya disuguhi hal-hal yang kita sukai, mendengar yang ingin kita dengar. Lama-lama, terciptalah “gelembung opini” — dunia terasa sempit, dan siapa pun yang berbeda pendapat dianggap “musuh”. 

Koneksi memang dekat, tetapi empati justru menjauh.

2. Budaya: Tradisi Lama, Gaya Baru

Media sosial membuat budaya lokal melesat dikenal dunia.

Kita lihat betapa viralnya tarian daerah, kuliner unik, atau bahasa gaul khas Indonesia yang mendunia. Tapi di balik euforia itu, muncul budaya instansemua harus cepat, lucu, dan gampang viralNilai-nilai seperti sopan santun, refleksi, dan empati kadang tergeser oleh komentar tajam dan sindiran sarkas. Seolah “engagement” lebih penting daripada makna.

3. Ekonomi: Dari Peluang Jadi Ilusi

Tidak bisa dipungkiri, media sosial membuka banyak peluang luar biasa.

Banyak orang yang dulunya jobless, kini bisa hidup dari konten: influencer, copywriter, digital marketer, hingga pelaku UMKM online. Namun, ekonomi digital juga punya sisi gelap. Budaya pamer jadi tren. Banyak orang lebih sibuk mengejar citra kaya atau "hidup sempurna" ketimbang realita hidupnya. Fenomena “flexing” menumbuhkan toxic comparison — bikin stres, bikin iri, bikin haus validasi.

Media sosial bisa jadi sumber rezeki, tapi juga sumber tekanan kalau lupa batas.


4. Hukum: Aturan Ada, Tapi Penerapan Terkadang Gagal 

Banyak yang merasa, di media sosial kita bisa berkata apa saja. Padahal, kebebasan berekspresi tetap punya batas hukum dan etika. 

Indonesia memiliki UU ITE yang digunakan untuk menangani penyebaran hoaks dan konten negatif. Tapi kenyataannya, banyak kasus yang dianggap publik “terlambat ditindak” atau “seleksi subjek hukum tidak merata”. Banyak orang merasa hukum tidak konsisten: ketika orang biasa “diingatkan”, orang kuat bisa lolos begitu saja.

Banyak pengguna tidak benar-benar memahami batas ekspresi.  Apa yang dianggap “opini” bisa saja melampaui batas, menjadi fitnah atau ujaran kebencian. Masalahnya bukan hanya di hukumnya saja, tapi bagaimana dan kepada siapa ia di tegakkan.

Karena di sinilah etika digital, dan hukum harus berjalan beriringan.

5. Etika: Tanggung Jawab Digital itu Nyata

Media sosila menguji karakter kita.

Apa kamu pernag scroll sosmed dan melihat berita provokatif lalu langsung share tanpa cek keberanannya? Beberapa banyak komentar pedas yang kita tulis hanya karena ingin "menang debat", bukan untuk mengobrol?

Etika digital menuntut:

  • Cek fakta terlebih dahulu sebelum share,
  • Hormati perbedaan pendapat,
  • Ungkapkan kritik secara konstruktif,
  • Serta sadar bahwa setiap tindakan punya konsekuensi terhadap orang lain.

Etika online bukan hanya soal apa yang boleh diunggah, tapi juga bagaimana kita memperlakukan oranglain secara manusiawi.

Jangan Biarkan Koneksi Menjadi Retorika Kosong!

Media sosial punya potensi besar sebagai jembatan — bukan sebagai jurang pemisah. Tapi potensi itu akan kehilangan makna kalau tidak dibarengi tanggung jawab sosial dan etika.

Mari kita bangun ruang digital yang beradab, berbudaya, beretika dan berempati!

Jadi sebelum kamu share posting, tanya dulu ke diri sendiri:

Apakah ini membantu menghubungkan?

Atau justru memperparah perpecahan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun