Tidak bisa dipungkiri, media sosial membuka banyak peluang luar biasa.
Banyak orang yang dulunya jobless, kini bisa hidup dari konten: influencer, copywriter, digital marketer, hingga pelaku UMKM online. Namun, ekonomi digital juga punya sisi gelap. Budaya pamer jadi tren. Banyak orang lebih sibuk mengejar citra kaya atau "hidup sempurna" ketimbang realita hidupnya. Fenomena “flexing” menumbuhkan toxic comparison — bikin stres, bikin iri, bikin haus validasi.
Media sosial bisa jadi sumber rezeki, tapi juga sumber tekanan kalau lupa batas.
4. Hukum: Aturan Ada, Tapi Penerapan Terkadang Gagal
Banyak yang merasa, di media sosial kita bisa berkata apa saja. Padahal, kebebasan berekspresi tetap punya batas hukum dan etika.
Indonesia memiliki UU ITE yang digunakan untuk menangani penyebaran hoaks dan konten negatif. Tapi kenyataannya, banyak kasus yang dianggap publik “terlambat ditindak” atau “seleksi subjek hukum tidak merata”. Banyak orang merasa hukum tidak konsisten: ketika orang biasa “diingatkan”, orang kuat bisa lolos begitu saja.
Banyak pengguna tidak benar-benar memahami batas ekspresi. Apa yang dianggap “opini” bisa saja melampaui batas, menjadi fitnah atau ujaran kebencian. Masalahnya bukan hanya di hukumnya saja, tapi bagaimana dan kepada siapa ia di tegakkan.
Karena di sinilah etika digital, dan hukum harus berjalan beriringan.
5. Etika: Tanggung Jawab Digital itu Nyata
Media sosila menguji karakter kita.
Apa kamu pernag scroll sosmed dan melihat berita provokatif lalu langsung share tanpa cek keberanannya? Beberapa banyak komentar pedas yang kita tulis hanya karena ingin "menang debat", bukan untuk mengobrol?
Etika digital menuntut:
- Cek fakta terlebih dahulu sebelum share,
- Hormati perbedaan pendapat,
- Ungkapkan kritik secara konstruktif,
- Serta sadar bahwa setiap tindakan punya konsekuensi terhadap orang lain.
Etika online bukan hanya soal apa yang boleh diunggah, tapi juga bagaimana kita memperlakukan oranglain secara manusiawi.