Mohon tunggu...
Zera Zetira Putrimawika
Zera Zetira Putrimawika Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist

Detoxing for Discernment | Student of Education, Linguistics, Ushuluddin | I'm playing piano and badminton

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Paradoks Malam Jumat

1 Agustus 2018   12:00 Diperbarui: 2 Agustus 2018   00:35 1509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (@kulturtava)

Hatiku terbakar. Ingin rasanya aku menenggelamkan diri di laut kidul. Ucapan-ucapanmu seperti meresap dalam kulit dan daging. Obsesimu terhadap arete, yang tidak pernah jenuh kau ulangi sebagai bentuk pencapaian hidup antara kita berdua. Aku pun terpaksa mengenal Aristoteles lebih jauh untuk memahamimu.

Kota hujan sedang benar-benar diguyur hujan pada malam itu. Dingin menyebar di sudut kota yang terkenal dengan julukan kota seribu angkot. Aku dan kamu hanya terpaku dalam kamar. Memandang suram ke jendela yang basah. 

Mengutuk sekaligus bersyukur pada turunnya hujan. Aku membayangkan, seandainya kita ada di Semarang, bukan di Bogor, mungkin kita sedang menikmati hangatnya pawai obor sambil makan lumpia. Bukan saling gemelutuk menggigil dalam dimensi keabadian dan arete mustahil ciptaanmu.

Aku jatuh cinta, jauh sebelum malam ini. Namun, semuanya menjadi semakin bulat dan padat. Aku tidak bisa meraba hatimu, yang aku tahu kau hanya senang.

Cukuplah aku bahagia bila kau senang.

Pengorbanan cinta paling klise. Tak perlu memaksakan diri untuk memiliki, jika ia berkelimpahan kebahagiaan itu sudah cukup. Tulismu di sebuah dinding. Aku tak pernah tahu siapa ia yang kau tuju dalam tulisan itu.

Esok paginya ketika langit Bogor sudah berhenti menangis, aku dan kamu memutuskan untuk jalan-jalan. Kurang lengkap rasanya berada di kota ini tanpa berkunjung ke Kebun Raya Bogor. Awalnya aku menolak. Malas. Bosan. Udara di luar masih lembab, jalanan masih becek. Tapi, kamu yang lebih banyak menghabiskan diri di kota dengan matahari di atas kepala, ingin sekali menikmati aroma pepohonan.

Apa aku bisa menolak? Aku ingin kau senang terus bersamaku. Tak peduli cinta atau tidak.

Di sini mungkin orang bertanya-tanya, termasuk juga kamu. Aku yang jahat atau kamu? Aku yang terlalu tulus atau kamu yang terlalu penipu?

Kebun Raya Bogor ramai oleh keluarga-keluarga yang berlibur hingga anak sekolah yang sengaja bertandang kemari, merayakan liburnya perayaan tahun baru Islam. Aku dan kamu hanya berjalan-jalan menebak-nebak pohon yang kita lewati, tertawa, kemudian bergandengan tangan, berlari-lari kecil, terpeleset, tersandung batu besar atau baju tersangkut batang pohon. 

Kita tak mengabadikan apapun. Tidak seperti para pelancong lain yang sibuk potret sana-sini. Aku tahu seleramu tak suka seperti itu. Atau kau tak ingin ada yang tahu bahwa kita pernah ke tempat ini berdua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun