Mohon tunggu...
Zen Siboro
Zen Siboro Mohon Tunggu... Freelancer - samosirbangga

Terkadang suka membaca dan menulis. Pencumbu Kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

New Normal: (Kita) Terlahir Kembali dan (Kita) Lalai Etika

10 Juni 2020   13:00 Diperbarui: 10 Juni 2020   13:02 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi New Normal. Sumber: kompas.com

Setelah sekian lama bergelut dengan Covid-19 pemerintah akhirnya membuat kebijakan baru. Selain berfungsi mengurangi angka pasien terpapar Corona, hal ini diharapkan dalam memulai kembali perekonomian yang sempat lumpuh. Kebijakan itu disebut dengan New Normal.

Fase New Normal adalah fase baru bagi masyarakat dunia termasuk Indonesia setelah Pandemi yang terlihat mulai surut. Dalam fase ini masyarakat diizinkan untuk kembali beraktifitas seperti biasa, namun dibarengi dengan beberapa protokol tertentu yang bersifat mengikat. Protokol tersebut dapat kita lihat sebagai salah satu indikator bahwa masyarakat Indonesia akan memulai kehidupan sosial dengan cara yang baru.

World Health Organization (WHO) sebagai pusat organisasi Kesehatan dunia menyatakan ada enam aturan mendasar dalam melaksanakan praktik "normal era baru". Enam syarat tersebut pada akhirnya akan menjadi patokan bagi setiap negara tentang kesiapan penerapan era baru tersebut. Secara khusus di Indonesia, hanya daerah yang terkategori Zona Hijau yang dapat menerapkan normal baru tersebut.

Ada satu hal yang menarik saat WHO memberikan analisis mengenai dampak pelaksanaan “normal baru”. Menurut Direktur WHO untuk Regional Eropa, selama belum ditemukannya vaksin untuk Covid-19, maka perilaku manusia akan menjadi penentu pada perilaku virus. Dengan artian bahwa kebiasaan hidup manusia sejatinya akan menjadi penentu pada proses penyebaran virus tersebut.

Pernyataan tersebut akhirnya membuat sebuah kesadaran baru. Apakah selama ini kita tidak normal? Atau lebih rinci lagi kenapa kita perlu “normal era baru” dalam hidup kita sekarang?

Penerapan normal baru saat ini dilakukan pemerintah dengan melakukan beberapa kategori daerah, maka tidak semua daerah di Indonesia bisa menerapkan normal baru. Daerah yang menerapkan normal era baru hanya daerah yang terkategori zona “Hijau”. Zona itu merupakan daerah yang sampai 30 Mei 2020 belum memiliki pasien yang terpapar Covid-19.

Melihat lebih jauh dan mengakui kenyataan yang ada, sejatinya tidak ada yang berbeda antara fakta hidup kita dengan new normal yang baru ini. Kalau kita mau jujur pada diri sendiri, sejatinya kita yang membuat normal baru tersebut harus dilakukan. Terlepas dari fenomena Pandemi yang terjadi secara global.

Pertama sekali adalah persoalan etika dan norma. Sebelum normal era baru ini harus dilakukan dalam rangka menghadapi Pandemi, secara normativ memang sudah sepantasnya kita harus melakukan indikator-indikator tersebut. Mencoba flash back kembali, apakah bukan seharusnya kita menutup mulut dengan tangan atau baju saat batuk, mencuci tangan setelah keluar rumah, dan menjaga jarak saat berkerumun atau dalam kondisi antri dalam keramaian?

Kedua adalah tentang menjaga kebersihan diri dan keluarga. Sebenarnya hal ini adalah lumrah bagi kita semua. Sudah sepantasnya kita menjaga diri dengan menjaga jarak dengan orang yang kurang sehat, terlepas apapun penyakitnya. Namun harus diingat, menjaga jarak bukan untuk “mengucilkan”.

Demikian halnya dengan panic attack yang sempat ramai di berbagai daerah. Mungkin kita semua sepakat bahwa ada atau tidak ada Pandemi, sudah seharusnya kita menjadi masyarakat yang kaya akan empati. Kita tidak perlu menjadi pribadi yang oportunis bahkan antagonis, dengan memanfaatkan kemampuan materi dan jaringan dalam menimbun alat kesehatan (masker, vitamin, alat pelingdung diri (APD)) serta membeli sembako sebanyak mungkin demi memenuhi kebutuhan masing-masing.

Maka dengan memandang fakta tersebut sejatinya bukan hanya Pandemi yang membuat kita harus melaksanakan new normal ini. Melainkan kita juga harus mengakui bahwa selama ini kita sudah cukup lalai dalam memelihara kebersihan diri dan keluarga, serta abai dalam melaksanakan beberapa etika sosial. Baik itu etika batuk, bersin, membuang air liur, atau bahkan menumbuhkan sikap empati saat orang lain tertimpa musibah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun