Mohon tunggu...
Zenfitri R. Situmorang
Zenfitri R. Situmorang Mohon Tunggu... Lainnya - Storyteller

Suka menulis, berolahraga dan bernyanyi. Buku favorit adalah buku biografi, filsafat, dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Merasakan Kehidupan Nenek Moyang di Desa Wisata Huta Tinggi Pangururan

12 November 2022   23:05 Diperbarui: 12 November 2022   23:42 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto dokumentasi: Kompas.com)

Ini sudah tahun berapa sih? Ternyata sudah tahun 2022, ya! Sudah di penghujung pula. Itu artinya kita sudah berada di tengah-tengah dunia revolusi 4.0. Era di mana kehidupan kita sudah diselimuti oleh canggihnya teknologi yang banyak mengubah cara hidup kita.

Terlihat dari gaya hidup orang pada umumnya maupun dari desain-desain rumah yang arsitekturnya sudah jauh dari kata kuno. Jangankan orang yang tinggal di kota. Orang yang tinggal di pedesaan yang belum ramah berkendara sekalipun, arsitektur rumahnya sudah terlihat modern. 

Sudah jarang yang menggunakan bahan kayu sebagai material utama bangunan rumahnya. Apalagi yang hidupnya di perkotaan. Wow, semakin tak terkira modernnya.

Namun di tengah-tengah modernnya zaman ini, kita masih bisa merasakan bagaimana kehidupan sebelum adanya kata industri. Ya, zaman di mana jika manusia ingin mengolah suatu barang masih mengandalkan tangan atau anggota tubuh lainnya saja (tanpa bantuan mesin). Kebayang bagaimana kehidupan manusia saat itu?

Supaya bisa merasakan langsung, yuk kita kunjungi langsung desanya! Namanya Desa Wisata Huta Tinggi, Kecamatan Pangururan. Terletak di Pulau Samosir, Sumatera Utara.

Loh, memangnya kehidupan di sana masih se-kuno itu, ya?

Tenang, bukan kehidupannya yang masih kuno, tetapi Ruma Bolon yang merupakan rumah adat Batak Toba yang sudah ditinggal pergi oleh keturunan dari pemilik aslinya, disulap menjadi rumah penginapan (homestay) yang unik. Dengan bentuk dan corak Bataknya yang masih asli, orang yang menginap di sana akan bisa merasakan sendiri bagaimana kehidupan nenek moyang kita dulu yang pernah hidup di sana selama bertahun-tahun.

Sekarang, ayo kita memasuki rumahnya untuk merasakan sensasinya bersama-sama!

Saat memasuki sebuah penginapan dalam perjalanan wisatamu, apa sih yang kamu pikirkan? Pastinya ingin disambut dengan pintu yang lebar dan tinggi agar bisa masuk dengan leluasa bukan? Tapi tidak untuk di homestay yang satu ini. Kamu harus menaiki tangga sembari menunduk agar bisa memasukinya. Tangganya pun terbuat dari kayu yang mirip dengan kayu yang biasa digunakan para kuli bangunan namun lebih tebal dan lebih lebar.

Duh pegal juga, ya. Ya, memang seperti itu. Model pintu tersebut tidak asal-asal dibuat loh! Ada makna yang sangat dalam terselip di dalamnya. Kusen pintu yang didesain dengan ukuran rendah, merupakan tanda penghormatan. Dalam budaya Batak desain pintu ini menunjukkan rasa hormat tamu kepada pemilik rumah sebelum memasukinya. Saat masuk pun harus mengucapkan kata "Horas!" sebagai salam pembuka.

Loh, untuk apa bersikap demikian? bukankah kita adalah tamu yang sudahmembayar penginapan? Dan bukankah tamu adalah raja? Memang benar, tetapi dalam adat batak setiap pendatang harus hormat kepada rumah yang dimasukinya. Karena setiap rumah pastilah mempunyai pemilik yang harus dihormati.

Saat memasuki ruangan sebuah penginapan, apa yang kamu pikirkan selanjutnya? Langsung masuk ke kamar lalu menutup pintu agar bisa rebahan sesuka hati sembari bermain handphone? Oh, di sini tidak bisa. Karena kamu tidak akan menemukan kamar khusus di sana. 

Karena pada umumnya, Ruma Bolon tidak didesain mempunyai ruangan-ruangan di dalamnya. Hanya ada satu ruangan utama yang luas tanpa sekat. Dan ruangan utama itulah yang juga dijadikan sebagai kamar tidur. Nah, karena ini didesain untuk penginapan, kamu akan menemui dua buah tempat tidur di sana. Namun tetap saja tanpa sekat.

Sebenarnya Ruma Bolon memiliki dua lantai atau tingkat. Tetapi lantai satu itu adalah sebutan untuk bagian kolong rumah yang dikhususkan untuk temapt tidur hewan, seperti kerbau. Sama seperti rumah adat di tempat lainnya yang berbentuk seperti rumah panggung.

Jika kamu juga ingin rebahan serta bermalas-malasan di sofa nan empuk layaknya di penginapan-penginapan pada umumnya juga tidak akan bisa. Jangankan sofa, kursi kayu dan meja yang umumnya selalu tersedia di sebuah penginapan saja tidak ada di dalamnya. Hanya akan tersedia di luar ruangan. Itu pun tidak bisa merasa milik pribadi.

Loh, mengapa seperti itu? ya, namanya juga masih dalam suasana kehidupan nenek moyang. Tetapi tenang, nenek moyang kita yang di sana dulu juga pernah menerima tamu kok. Dan tamu yang datang akan dijamu di atas tikar anyaman yang terbuat dari daun pandan, tikar khas suku batak. Sangat otentik bukan?

Untuk keberadaan toilet pun seperti itu. masih terpisah dari homestay. Karena memang pada zaman nenek moyang kita belum ada yang namanya toilet. Apalagi yang pakai siram otomatis. Oleh karena itu pengelola homestay membangunnya secara terpisah, agar kesan aslinya tidak hilang. Namun lokasinya juga tidak jauh dari homestay. Jadi masih terjangkau apabila mendesak ingin buang air.

Namun, hingga kini ketersediaan air masih menjadi pergumulan. Masih mengandalkan air tadah hujan seperti di zaman nenek moyang kita dulu. Padahal tidak setiap saat kita bisa mengharapkan hujan untuk turun saat persediaan air sudah mulai menipis. Belum lagi jumlah penghuni di desa saat ini tidak sesedikit di zaman nenek moyang dulu. 

Hal ini harus menjadi tugas bagi para generasi kreatif untuk memberdayakan pengetahuannya dalam memenuhi kebutuhan desa ini terkhusus untuk persediaan air. Sangat miris sebenarnya keberadaan sebuah desa yang berada di tengah-tengah danau terbesar di Asia Tenggara tetapi kekurangan air.  

Namun hal tersebut sebenarnya masih bisa teratasi hingga detik ini. Hanya saja tetap menjadi perhatian khusus bagi warga maupun pemerintah setempat.  

(foto dokumentasi: inews.id )
(foto dokumentasi: inews.id )

Setelah dari dalam rumah, kita berkelana ke luar rumah. Untuk kamu yang mengambil paket wisata berbasis kearifan lokal, kamu akan dilibatkan juga dalam aktivitas masyarakat setempat seperti memerah susu sapi, memetik buah kopi, hingga mengupas jagung. Lagi-lagi semuanya dilakukan secara manual atau tanpa bantuan mesin.

Untuk memerah susu kerbau, para pengunjung akan didampingi langsung oleh pemilik kerbau agar tetap merasa aman dan sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Begitu juga dengan kegiatan memtik buah kopi dan mengupas jagung. Akan didampingi langsung oleh warga setempat sehingga bisa sembari belajar dengan mereka.

(Foto dokumentasi: Good News From Indonesia)
(Foto dokumentasi: Good News From Indonesia)

Selain kegiatan beternak dan berladang, kamu juga akan menyaksikan pertunjukan budaya, seperti tari tor tor dan pertunjukan gondang. Tari daerah asli suku Batak yang diiringi gondang yaitu musik khas batak tanpa aliran listrik.

Jangan ketinggalan juga untuk menikmati olahan susu kerbau yang sering dijuluki sebagai keju batak. Yang juga diolah tanpa menggunakan bahan kimia maupun alat-alat khusus seperti mesin. Jadi rasanya pun benar-benar asli. Benar-benar seperti zaman dahulu kala, bukan?     

Bagaimana? Sudah bisa merasakan kehidupan seperti nenek moyang? mungkin kamu harus mengunjunginya secara langsung agar dapat merasakan sensasi sesungguhnya. Apalagi ini sudah menjelang akhir tahun. Kamu sudah bisa mulai menentukan destinasi wisata kamu utnuk liburan akhir tahun ini.

Terkhusus untuk anak-anak muda yang doyan healing, tempat ini sangat cocok untuk kalian. Dengan berkunjung ke Desa Wisata Huta Tinggi ini, selain mendapatkan liburan yang menyenangkan dan edukasi tentang kearifan lokal, kamu juga turut membantu pergerakan perekonomian untuk desa ini.

(foto dokumentasi: International Media)
(foto dokumentasi: International Media)

Untuk akses menuju ke desa ini juga sudah sangat mudah. Sebab desa ini berada di daerah yang ramah berkendara. Kamu bisa menggunakan kapal feri dari Pelabuhan Ajibata dan berlabuh di Pelabuhan Ambarita yang hanya memakan waktu 40 menit saja. Setelah itu kamu bisa menempuh perjalanan darat dengan mobil selama kurang lebih satu jam. Kondisi jalan menuju ke sana juga sangat mulus. Jadi dijamin aman untuk para pendatang.

Meskipun terkesan kuno, tetapi Desa Wisata Huta Tinggi ini sudah termasuk dalam 50 besar desa wisata terbaik dalam Ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021 loh. Jadi tidak diragukan lagi untuk dijadikan destinasi wisata kamu tahun ini, terkhusus untuk kamu yang suka dengan alam pedesaan dengan suasana yang sangat otentik.

Mungkin Adira Finance juga ingin turut merasakannya. Bisa juga mengadakan Festival Kreatif Lokal di Desa Wisata Huta Tinggi ini, seperti yang sudah dilakukan di lima desa di pulau Jawa dan Bali dengan kriteria desa yang ada di adira.id/e/fkl2022-blogger. Supaya Desa Huta Tinggi ini juga semakin dikenal oleh masyarakat luas, baik wisatawan domestik maupun mancanegara.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun