Mohon tunggu...
Zenfitri R. Situmorang
Zenfitri R. Situmorang Mohon Tunggu... Lainnya - Storyteller

Suka menulis, berolahraga dan bernyanyi. Buku favorit adalah buku biografi, filsafat, dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Merasakan Kehidupan Nenek Moyang di Desa Wisata Huta Tinggi Pangururan

12 November 2022   23:05 Diperbarui: 12 November 2022   23:42 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto dokumentasi: Kompas.com)

Loh, untuk apa bersikap demikian? bukankah kita adalah tamu yang sudahmembayar penginapan? Dan bukankah tamu adalah raja? Memang benar, tetapi dalam adat batak setiap pendatang harus hormat kepada rumah yang dimasukinya. Karena setiap rumah pastilah mempunyai pemilik yang harus dihormati.

Saat memasuki ruangan sebuah penginapan, apa yang kamu pikirkan selanjutnya? Langsung masuk ke kamar lalu menutup pintu agar bisa rebahan sesuka hati sembari bermain handphone? Oh, di sini tidak bisa. Karena kamu tidak akan menemukan kamar khusus di sana. 

Karena pada umumnya, Ruma Bolon tidak didesain mempunyai ruangan-ruangan di dalamnya. Hanya ada satu ruangan utama yang luas tanpa sekat. Dan ruangan utama itulah yang juga dijadikan sebagai kamar tidur. Nah, karena ini didesain untuk penginapan, kamu akan menemui dua buah tempat tidur di sana. Namun tetap saja tanpa sekat.

Sebenarnya Ruma Bolon memiliki dua lantai atau tingkat. Tetapi lantai satu itu adalah sebutan untuk bagian kolong rumah yang dikhususkan untuk temapt tidur hewan, seperti kerbau. Sama seperti rumah adat di tempat lainnya yang berbentuk seperti rumah panggung.

Jika kamu juga ingin rebahan serta bermalas-malasan di sofa nan empuk layaknya di penginapan-penginapan pada umumnya juga tidak akan bisa. Jangankan sofa, kursi kayu dan meja yang umumnya selalu tersedia di sebuah penginapan saja tidak ada di dalamnya. Hanya akan tersedia di luar ruangan. Itu pun tidak bisa merasa milik pribadi.

Loh, mengapa seperti itu? ya, namanya juga masih dalam suasana kehidupan nenek moyang. Tetapi tenang, nenek moyang kita yang di sana dulu juga pernah menerima tamu kok. Dan tamu yang datang akan dijamu di atas tikar anyaman yang terbuat dari daun pandan, tikar khas suku batak. Sangat otentik bukan?

Untuk keberadaan toilet pun seperti itu. masih terpisah dari homestay. Karena memang pada zaman nenek moyang kita belum ada yang namanya toilet. Apalagi yang pakai siram otomatis. Oleh karena itu pengelola homestay membangunnya secara terpisah, agar kesan aslinya tidak hilang. Namun lokasinya juga tidak jauh dari homestay. Jadi masih terjangkau apabila mendesak ingin buang air.

Namun, hingga kini ketersediaan air masih menjadi pergumulan. Masih mengandalkan air tadah hujan seperti di zaman nenek moyang kita dulu. Padahal tidak setiap saat kita bisa mengharapkan hujan untuk turun saat persediaan air sudah mulai menipis. Belum lagi jumlah penghuni di desa saat ini tidak sesedikit di zaman nenek moyang dulu. 

Hal ini harus menjadi tugas bagi para generasi kreatif untuk memberdayakan pengetahuannya dalam memenuhi kebutuhan desa ini terkhusus untuk persediaan air. Sangat miris sebenarnya keberadaan sebuah desa yang berada di tengah-tengah danau terbesar di Asia Tenggara tetapi kekurangan air.  

Namun hal tersebut sebenarnya masih bisa teratasi hingga detik ini. Hanya saja tetap menjadi perhatian khusus bagi warga maupun pemerintah setempat.  

(foto dokumentasi: inews.id )
(foto dokumentasi: inews.id )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun