Pengetahuan merupakan hasil interaksi manusia dengan realitas, yang kemudian disusun menjadi kerangka berpikir untuk memahami, menjelaskan, dan memecahkan masalah kehidupan. Dalam penelitian, dua paradigma besar yang sering digunakan adalah paradigma ilmiah (scientific) dan paradigma alamiah (naturalistic). Kedua paradigma ini memiliki perbedaan mendasar dalam cara pandang terhadap realitas, metode, serta hubungan peneliti dengan objek penelitian. Dalam konteks manajemen pendidikan, pemahaman atas kedua paradigma menjadi penting agar riset mampu memberikan data yang kuat sekaligus makna yang kontekstual.
Paradigma ilmiah menekankan rasionalitas, objektivitas, dan pengukuran yang sistematis. Thomas Kuhn (1962) menyebut paradigma sebagai seperangkat asumsi dasar yang digunakan ilmuwan dalam memandang realitas. Ciri utama paradigma ilmiah adalah:
- Objektivitas -- peneliti menjaga jarak dari objek penelitian.
- Sistematis -- penelitian dilakukan melalui prosedur terstruktur.
- Kuantitatif -- lebih banyak menggunakan data numerik untuk menguji hipotesis.
Instrumen yang digunakan, seperti angket, observasi terstruktur, dan tes, harus valid serta reliabel agar hasilnya sahih. Dalam manajemen pendidikan, paradigma ini digunakan untuk menilai efektivitas kebijakan, kinerja guru, dan capaian siswa secara terukur. Misalnya, evaluasi program kurikulum dapat dilakukan melalui analisis statistik hasil belajar.
Namun, keterbatasan paradigma ini terletak pada kemampuannya yang terbatas menangkap kompleksitas interaksi manusia, terutama aspek nilai, makna, dan konteks sosial. Oleh karena itu, muncul kebutuhan menggabungkannya dengan pendekatan lain yang lebih fleksibel.
Paradigma alamiah menekankan pemahaman fenomena sosial secara utuh, mendalam, dan kontekstual. Paradigma ini berpijak pada pemikiran konstruktivisme yang memandang realitas sebagai hasil konstruksi sosial (Lincoln & Guba, 1985). Ciri utamanya adalah:
- Realitas jamak dan dinamis, tergantung pengalaman manusia.
- Makna lebih penting daripada angka.
- Peneliti terlibat langsung dengan partisipan penelitian.
Metode kualitatif seperti wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan analisis dokumen digunakan untuk menangkap pengalaman, motivasi, dan interaksi sosial dalam konteks pendidikan. Misalnya, studi tentang kepemimpinan kepala sekolah tidak cukup dilihat dari angka kinerja, tetapi perlu memahami bagaimana guru dan siswa memaknai gaya kepemimpinan tersebut.
Relevansi paradigma alamiah dalam manajemen pendidikan terletak pada kemampuannya menghasilkan kebijakan yang lebih kontekstual, aplikatif, dan sesuai dengan realitas sosial-budaya sekolah.
Perbedaan keduanya dapat dilihat dari tiga aspek utama:
- Ontologis -- paradigma ilmiah melihat realitas sebagai tunggal dan objektif, sedangkan alamiah melihatnya sebagai jamak dan kontekstual.
- Epistemologis -- paradigma ilmiah menuntut peneliti menjaga jarak, sedangkan paradigma alamiah mengharuskan keterlibatan aktif peneliti.
- Metodologis -- paradigma ilmiah dominan kuantitatif, sedangkan paradigma alamiah kualitatif.
Bagi manajemen pendidikan, perbedaan ini bukan untuk dipertentangkan, melainkan dikombinasikan agar penelitian dapat menghasilkan data yang kuat sekaligus pemahaman mendalam.
Paradigma ilmiah memberikan keunggulan pada aspek generalisasi, prediksi, dan validasi kebijakan melalui data numerik. Namun, ia terbatas dalam menangkap makna sosial. Sebaliknya, paradigma alamiah unggul dalam eksplorasi nilai, budaya sekolah, dan interaksi guru-siswa, meski hasilnya sulit digeneralisasi.