Mohon tunggu...
Zatil Mutie
Zatil Mutie Mohon Tunggu... Guru - Penulis Seorang guru dari Cianjur Selatan

Mencintai dunia literasi, berusaha untuk selalu menebar kebaikan melalui goresan pena.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Sebuah Takdir

13 November 2022   05:50 Diperbarui: 13 November 2022   05:51 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Didedikasikan untuk: dr. Christina, Sp. S (dokter spesialis saraf di RS HASAN SADIKIN BANDUNG)


Januari 2010
Bunyi ambulans membelah malam yang masih dihiasi hiruk-pikuk kendaraan di ruas tol Padalarang. Sejak surat rujukan keluar dari pihak rumah sakit, tim medis dan keluarga Fandi berangkat menuju Bandung. Tempat di mana harapan terakhir untuk menjemput kesembuhan si pasien yang sudah lumpuh setengah badan kini dituju. Secepat kilat kendaraan roda empat itu menyusuri rute dan memasuki gerbang rumah sakit terbesar di Bandung. Inaya segera menuju lobi pendaftaran dan menyerahkan bukti administrasi rujukan dari Rumah Sakit Sayang Cianjur. Wanita muda berusia dua puluh satu tahun yang selalu setia menemani sang suami--Fandy--melawan penyakit yang telah menggerogoti hampir satu tahun.

Pernikahan yang telah dilewati hampir dua tahun dengan sukacita, harus tertempa sebuah kenyataan pahit. Enam bulan yang lalu sang suami tiba-tiba harus dilarikan ke rumah sakit karena demam tinggi. Diagnosa awal Fandy terkena demam berdarah. Namun, sepulang dari sana justru dia kembali tergolek lemah. Bahkan kedua kakinya begitu lemas untuk sekadar dipakai berjalan. Hingga pria berusia dua puluh empat tahun itu dibantu tongkat.

***
Setelah dipriksa di sebuah klinik dokter umum, Fandy disarankan untuk melakukan cek laboratorium dan foto rontgen untuk memastikan apa penyebab penyakitnya. Bersama sang istri pria malang itu melakukan serangkaian rawat jalan di sebuah rumah sakit swasta di Sukabumi.

"Diagnosa yang kami dapat dari hasil rontgen dan tes laboratorium. Mas Fandy ini terkena Tubercolosis tulang stadium 2." Dokter saraf berkumis tebal memandang pasangan suami-istri itu dengan tatapan sedih.

"A-apa? Penyakit apa itu, Dokter?" Fandy tergagap mendengar penjelasan dokter Syamsul. Tangannya seketika gemetar memegangi jemari sang istri yang seketika meneteskan air mata.

"Tulang Mas Fandy terkena serangan bakteri yang menyebabkan ditimbulkan dari tubercolosis paru-paru yang menyebar ke organ lain termasuk tulang. Cara yang terampuh pada kasus ini adalah operasi. Tapi ada pula pengobatan antibiotik jangka tertentu atau terapi lain yang bisa kalian tempuh," paparnya memberi semangat kepada dua sosok yang terlihat pucat pasi di hadapannya. "Umurmu masih muda, jadi harapan untuk sembuh sangatlah besar."

"Terima kasih, Dok. Mungkin saya akan menjalani dulu terapi sebelum mengambil langkah terakhir itu." Fandy tersenyum hambar. Tak dapat dibayangkan betapa sedihnya hati orang tuanya jika diagnosa itu mereka ketahui.

Menurut penjelasan dokter setelah membaca rekam medis Fandy yang sejak kecil mengidap flek paru. Kemungkinan besar infeksi virus ke organ tubuh yang lain sangatlah besar. Apalagi kondisi kesehatan Fandy yang sejak kecil sangat rentan terkena penyakit. Dia terlahir prematur sehingga tak aneh lagi jika berhubungan dengan berbagai macam penyakit.

***
Bulan demi bulan Fandy lewati dengan meminum antibiotik dan obat paru-paru. Terapi pemulihan saraf pada kakinya pun terus berlanjut. Berbagai terapis sudah dia datangi. Namun, hasilnya nihil. Bahkan kesehatannya kian menurun. Fungsi sistem sekresinya kini terganggu. Akhirnya tak ada jalan lain kecuali masang kateter sebagai alat pelancar untuk mengeluarkan urin. Keluarga pun semakin panik, apalagi mengingat diagnosa dokter Syamsul yang dulu pernah menyarankan untuk operasi.

"Pak, Bu. Fandy ingin dioperasi saja. Semua terapi ternyata tak ada gunanya. Fandy ingin sembuh," gumam pria yang merupakan anak bungsu dari dua bersaudara itu pada suatu malam.

"Fan, operasi itu besar risikonya. Kami tak ingin terjadi sesuatu sama kamu. Sabarlah sedikit, jika waktunya tiba. Kamu akan sembuh, Fan." Suara Bu Lasmi terdengar bergetar. Tangannya tak henti mengelus rambut si bungsu. Anak yang wanita itu paling sayangi.

"Bu, Fandy hanya ingin menuntaskan ikhtiar sesuai petunjuk dokter. Ibu jangan ragu, Fandy bisa sembuh lagi." Binar di mata Fandy seolah ingin mengusir semua keraguan wanita yang melahirkannya.

Setelah perdebatan panjang. Keluarga itu memutuskan untuk mengabulkan keinginan Fandy. Semua perlengkapan menuju rumah sakit disiapkan termasuk kartu jaminan kesehatan untuk meringankan biaya selama di rumah sakit telah dibuat.

Dua minggu menjalani serangkaian pemeriksaan dasar dilewati Fandy sebelum akhirnya dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Waktu yang terasa begitu lambat untuk meniti impian menjalani operasi demi kesembuhannya. Beruntung Inaya seorang istri penyabar. Berbulan-bulan mengurus suami lumpuh di usia muda tak membuat perempuan itu putus asa.

***
"Tuan Fandy, silakan dibawa ke ruang IGD, ya, Bu. Di sana nanti akan ada pemeriksaan awal sambil menunggu cek laboratorium." Seorang perawat cantik berkerudung putih memberikan pengarahan kepada Fandy dan keluarganya.

Setelah menuruni lorong lobi dan melewati beberapa ruang administrasi, akhirnya Fandy memasuki ruang berukuran 6x10 meter yang masih bergaya arsitektur Belanda. Hanya ruangan ini yang masih bertahan dengan gaya klasiknya. Sementara gedung dan ruangan lain sudah modern.

"Tuan Fandy, 24 tahun dari Cianjur." Seorang dokter muda berkumis tipis tampak tersenyum sambil memeriksa denyut nadi pasien. "Sehabis ini nanti akan pindah ke ruang khusus pasien saraf, ya," jelasnya lagi sambil mencatat sesuatu di buku rekam medis Fandy.

Tak lama mengemasi barang-barang. Fandy dan keluarga ingin cepat memasuki gedung yang ditunjuk oleh dokter tadi. Dari kursi roda Fandy bisa melihat betapa luasnya rumah sakit ini. Sengaja dia berhenti pada belokan yang memampang peta rumah sakit. Gedung yang akan dimasukinya telah tampak di depan mata. Bangunan lima lantai yang masih terlihat baru akhirnya menyambut Fandy. Sebuah senyum terukit di bibir pria itu dan sang istri tatkala menjejakkan kaki di lift yang mengantar mereka menuju lantai tiga.

Pintu lift terbuka, semerbak wangi pengharum ruangan menjamah indra penciuman. Senyum ramah para suster menyambut mereka dan dengan sigap melayani pasien.

"Tuan Fandy, diagnosa yang kami terima bahwa Anda bermasalah dengan saraf. Nanti Tuan akan menjadi pasien yang dipegang dokter Christina, dokter spesialis saraf. Harap sabar menunggu jam visit beliau. Beliau adalah dokter dengan pasien yang banyak." Suster bertubuh ramping itu tersenyum sambil mengisi papan identitas pasien yang terletak di dekat nakas dekat ranjang pasien.

Fandy mengangguk lega, matanya tak henti mengitari ruangan yang penuh dengan berbagai pasien. Pria itu bersyukur mendapati dirinya tak hanya seorang diri mengidap penyakit yang bagi sebagian orang langka. Ya, di rumah sakit kabupaten, Fandy hanyalah seorang diri dengan kasus diagnosa Tb tulang. Namun, di sini puluhan pasien yang sama tampak memenuhi ruangan.

***
"Mas Fandy, selamat siang." Suara lembut dokter bermata sipit menyapa. "Saya dokter Christiana. Spesialis saraf yang ditunjuk menangani penyakit Anda. Jangan lupa tetap semangat." Tatapan hangatnya membuat Fandy tak canggung menghadapi sang dokter.

"Iya, Dok. Saya hanya ingin sembuh, saya tetap semangat walau harus dioperasi, Dok."

"Nah, bagus. Saya suka semangat Anda. Nanti ada serangkaian tes laboratorium dan rontgen yang harus dilakukan. Saya yang akan selalu membimbing Anda," ujarnya lagi tanpa kehilangan senyum. Setelah itu dokter berambut lurus sebahu itu memberikan beberapa kertas catatan kepada suster.

Dokter Chistina walaupun baru dikenal Fandy dan Inaya, tapi dokter itu begitu ramah, dia memberikan kontak ponsel dan telepon rumahnya. Katanya jika ada kepentingan mendadak mereka bisa menghubungi. Penjelasannya tentang Tubercolosis tulang membuat wawasan Fandy terbuka lebar.

Tulang belakang mempunyai peranan yang sangat penting bagi tubuh dan kehidupan seseorang. Pasalnya di tulang belakang ini banyak sekali saraf tubuh. Selain itu tulang belakang juga sekaligus sebagai penyangga tubuh. Jika tulang belakang kita terinfeksi virus ataupun bakteri, tentu kondisi tubuh juga akan terganggu. Bahkan terjadinya infeksi pada tulang belakang bisa menyebabkan terjadinya kelumpuhan.

Dikatakannya, tuberkulosis adalah suatu penyakit sistemik yang dapat menyerang berbagai organ tubuh, termasuk tulang dan sendi. Ada tiga fase infeksi tuberkulosis ini. Fase pertama adalah fase kompleks primer. Pada fase ini kumanpertama kali masuk pada paru-paru, faring atau usus dan kemudian melalui saluran limfe menyebar ke limfonodulus regional dan disebut primer kompleks. "Pada fase ini tubuh masih bisa mengatasi sendiri, tubuh masih kuat, tetapi sebenarnya perlu segera diobati," jelasnya.

Dia jelaskan, fase kedua adalah sekunder. Fase sekunder ini mulai diikuti dengan menurunnya imunitas tubuh. Fase sekunder ini juga akan disertai dengan kualitas istirahat yang menurun, gizi yang memburuk. Pada fase ini kuman yang sebelumnya diam mulai menyebar. Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui sirkulasi darah. Keadaan ini dapat terjadi setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstra pulmoner. "Pada fase ini, jika imunitas tubuh menurun maka kuman mlai menyebar," timpalnya.

Dia mengungkapkan fase berikutnya adalah fase tersier kompleks. Pada fase ini sudah terjadi kerusakan organ tubuh. Organ tubuh yang biasa terjadi adalah selain paru. Kerusakan bisa terjadi pada ginjal, tulang belakang, usus atau organ lainnya. "Fase ini sudah diikuti dengan keruakan organ tubuh lainnya."

Diungkapkannya, tuberkulosis tulang dapat menyerang hampir semua tulang tapi yang paling sering terjadi adalah TBC pada tulang belakang pinggul, lutut, kaki, siku, tangan dan bahu. Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi adanya TBC tulang adalah melalui pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis. Pada awalnya penderita merasa pegal-pegal disertai rasa lelah pada sore hari. Pada tingkat selanjutnya penderita mengalami penurunan berat badan, demam, berkeringat di malam hari, kehilangan nafsu makan. "Infeksi tuberkulosis pada tulang yang sering terjadi adalah pada tulang belakang," tambahnya.

Pada tahap awal penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadi kekebalan. Sedangkan di tahap selanjutnya penderita mendapat obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadi kekambuhan. Penyakit TBC tulang juga dapat menyebabkan tulang yang terserang menjadi rusak, sehingga bisa terjadi pengeroposan tulang. Untuk emulihkannya diperlukan kesabaran dan waktu yang lama. Apalagi jika penderita sudah berusia lanjut. "Pengobatan penyakit ini sama seperti pengobatan TBC, pada tahap awal itu empat jenis obat, pada tahap berikutnya berkurang jumlahnya," paparnya lagi.

Ada beberapa kondisi dan ciri yang dikatakan sudah terlambat dalam mendatapakan pengobatan. Pada kondisi yang sudah parah, tulang belakang akan mengalami kerusakan, yang menyebabkan punggung tampak membungkuk. Jika bungkukan ini menjepit saraf maka menyebabkan kelumpuhan," katanya.

Benjolan pada ruas tulang belakang Fandy akhirnya terdiagnosa dalam Ct Scan dan MRI, dua ruas tulang belakang telah hancur keropos dan cairan saraf itu tersumbat hingga menyebabkan kelumpuhan. Dokter Christina tak henti menyemangati pasiennnya melewati tahapan-tahapan menuju operasi. Atas rekomendasinya pengajuan jadwal operasi pengangkatan dua ruas tulang belakang Fandy bisa cepat disetujui tim dokter bedah ortopedi.

****

Awal Februari 2010
Operasi berlangsung selama enam jam. Sayang, takdir berkata lain, dua hari pascaoperasi, Fandy mengalami gagal napas. Diagnosa dokter dari hasil rontgen mengatakan jika paru-paru Fandy tertetesi cairan darah sewaktu operasi. Akhirnya ventilator menjadi alat pembantu pernapasan terakhirnya. Hingga pemantauan dokter Christina selama seminggu berlangsung. Kondisi Fandy kian menurun, fungsi ginjal dan jantungnya sudah terganggu, detik-detik terkhir dia mengalami anfal, dokter tetap berusaha melakukan pacu jantung. Fandy akhirnya pergi meninggalkan semua kesakitan yang selama ini menggerogotinya.

 Sang dokter memeluk Inaya dan berkata, "Maafkan kami, kami sudah melakukan yang terbaik untuk Fandy, tapi Tuhan menyayangi dia," ucapnya menguatkan sosok rapuh yang kini tak henti memanggil nama sang imam. Dokter Chistina pula yang membantu mengurus administrasi kepulangan pasiennya.

Keluarga Fandy tak henti mengucapkan terima kasih atas semua bantuan dan bimbingan sang dokter. Bahkan hingga tiba ke rumah duka pun wanita itu tetap menghubungi dan membesarkan hati Inaya.

Terima kasih untuk dokter Christina, Sp. S. Semoga tetap bisa berdedikasi menolong sesama dengan tulus.

Kisah nyata

Cianjur, 13 November 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun