Mohon tunggu...
Zatil Mutie
Zatil Mutie Mohon Tunggu... Guru - Penulis Seorang guru dari Cianjur Selatan

Mencintai dunia literasi, berusaha untuk selalu menebar kebaikan melalui goresan pena.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Sebuah Takdir

13 November 2022   05:50 Diperbarui: 13 November 2022   05:51 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Fan, operasi itu besar risikonya. Kami tak ingin terjadi sesuatu sama kamu. Sabarlah sedikit, jika waktunya tiba. Kamu akan sembuh, Fan." Suara Bu Lasmi terdengar bergetar. Tangannya tak henti mengelus rambut si bungsu. Anak yang wanita itu paling sayangi.

"Bu, Fandy hanya ingin menuntaskan ikhtiar sesuai petunjuk dokter. Ibu jangan ragu, Fandy bisa sembuh lagi." Binar di mata Fandy seolah ingin mengusir semua keraguan wanita yang melahirkannya.

Setelah perdebatan panjang. Keluarga itu memutuskan untuk mengabulkan keinginan Fandy. Semua perlengkapan menuju rumah sakit disiapkan termasuk kartu jaminan kesehatan untuk meringankan biaya selama di rumah sakit telah dibuat.

Dua minggu menjalani serangkaian pemeriksaan dasar dilewati Fandy sebelum akhirnya dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Waktu yang terasa begitu lambat untuk meniti impian menjalani operasi demi kesembuhannya. Beruntung Inaya seorang istri penyabar. Berbulan-bulan mengurus suami lumpuh di usia muda tak membuat perempuan itu putus asa.

***
"Tuan Fandy, silakan dibawa ke ruang IGD, ya, Bu. Di sana nanti akan ada pemeriksaan awal sambil menunggu cek laboratorium." Seorang perawat cantik berkerudung putih memberikan pengarahan kepada Fandy dan keluarganya.

Setelah menuruni lorong lobi dan melewati beberapa ruang administrasi, akhirnya Fandy memasuki ruang berukuran 6x10 meter yang masih bergaya arsitektur Belanda. Hanya ruangan ini yang masih bertahan dengan gaya klasiknya. Sementara gedung dan ruangan lain sudah modern.

"Tuan Fandy, 24 tahun dari Cianjur." Seorang dokter muda berkumis tipis tampak tersenyum sambil memeriksa denyut nadi pasien. "Sehabis ini nanti akan pindah ke ruang khusus pasien saraf, ya," jelasnya lagi sambil mencatat sesuatu di buku rekam medis Fandy.

Tak lama mengemasi barang-barang. Fandy dan keluarga ingin cepat memasuki gedung yang ditunjuk oleh dokter tadi. Dari kursi roda Fandy bisa melihat betapa luasnya rumah sakit ini. Sengaja dia berhenti pada belokan yang memampang peta rumah sakit. Gedung yang akan dimasukinya telah tampak di depan mata. Bangunan lima lantai yang masih terlihat baru akhirnya menyambut Fandy. Sebuah senyum terukit di bibir pria itu dan sang istri tatkala menjejakkan kaki di lift yang mengantar mereka menuju lantai tiga.

Pintu lift terbuka, semerbak wangi pengharum ruangan menjamah indra penciuman. Senyum ramah para suster menyambut mereka dan dengan sigap melayani pasien.

"Tuan Fandy, diagnosa yang kami terima bahwa Anda bermasalah dengan saraf. Nanti Tuan akan menjadi pasien yang dipegang dokter Christina, dokter spesialis saraf. Harap sabar menunggu jam visit beliau. Beliau adalah dokter dengan pasien yang banyak." Suster bertubuh ramping itu tersenyum sambil mengisi papan identitas pasien yang terletak di dekat nakas dekat ranjang pasien.

Fandy mengangguk lega, matanya tak henti mengitari ruangan yang penuh dengan berbagai pasien. Pria itu bersyukur mendapati dirinya tak hanya seorang diri mengidap penyakit yang bagi sebagian orang langka. Ya, di rumah sakit kabupaten, Fandy hanyalah seorang diri dengan kasus diagnosa Tb tulang. Namun, di sini puluhan pasien yang sama tampak memenuhi ruangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun