Mohon tunggu...
Humaniora

Belajar dari Masa Lalu, Mengkreasi (Pemimpin) Masa Depan

28 Mei 2015   07:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:31 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berbicara tentang pemimpin, pikiran kita seringkali langsung tertuju kepada pucuk pimpinan di suatu wilayah. Presiden sebagai pimpinan tertinggi Negara, gubernur untuk provinsi, walikota untuk kota, bupati untuk kabupaten, dan sebagainya.  Tidak salah, apalagi di tahun politik seperti tahun ini kata-kata pemimpin identik dengan tokoh politik yang memegang kebijakan di suatu wilayah.

Padahal, seseorang dikatakan pemimpin atau tidak bergantung pada pengakuan dari yang dipimpinnya. Meskipun seringkali pengakuan itu sendiri cenderung abu-abu. Sering karena keberpihakan golongan atau setidaknya keberpihakan sepemikiran.

Jika dimaknai demikian, seorang pimpinan wilayah tidak tentu menjadi seorang pemimpin. Begitu pula sebaliknya, seorang pemimpin tidak tentu seorang pimpinan wilayah. Sebab, kembali lagi ke awal, pemimpin itu soal pengakuan, sedangkan pimpinan itu soal jabatan.

Menilik sejarah panjang Sumedang yang hingga tahun ini telah berusia 437 tahun (dengan asumsi, penentuan hari jadi didasarkan pada waktu dimulainya kepemimpinan Prabu Geusan Ulun sebagai “Narendra” atau Raja Sumedang Larang, yaitu sekitar tahun 1578-1579 M.), ada sekitar 56 pergantian kepemimpinan.

Dari sekian banyak sosok yang pernah menjadi pemangku kebijakan di kabupaten yang saat ini terbagi dalam 26 kecamatan, 272 desa dan 7 kelurahan, ada beberapa sosok yang namanya memasyarakat. Selain karena kemasyhuran jasa-jasanya, kini beberapa nama diabadikan menjadi nama jalan, museum (Prabu Geusan Ulun), atau nama gedung (GOR Tadjimalela).

Diusulkan Pahlawan Nasional


Ada pula satu nama yang pernah diusulkan menjadi pahlawan nasional kepada pemerintahan pusat. Pada tahun 2011, dimulai pengusulan Pangeran Suria Atmadja atau Pangeran Mekkah (Bupati Sumedang 1883-1919) sebagai pahlawan nasional. Namun hingga kini, nama beliau masih tertunda untuk menjadi pahlawan nasional.

Bupati Sumedang terakhir yang bergelar pangeran ini karyanya banyak diakui. Tidak hanya oleh masyarakat Sumedang sendiri, tetapi oleh pemerintahan kolonial Belanda masanya.

Terbukti dengan pembuatan monumen Lingga sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa beliau di berbagai bidang, seperti pertanian, perikanan, kehutanan, peternakan, kesehatan, pendidikan dan banyak bidang lainnya.

Lingga ini juga yang menjadi ikon Sumedang dan dijadikan logo instansi pemerintahan yang menghiasi seragam PNS di kabupaten Sumedang. Sebuah pengakuan yang layak bagi bupati yang wafat dan dimakamkan di Ma’la, Mekkah tersebut.

Betapa tidak, beliau pernah menyusun buku “Ditioeng Memeh Hoedjan” yang di antaranya memuat gagasan beliau mengusulkan kemerdekaan bagi pribumi kepada pemerintahan Hindia Belanda. Sekolah pertanian di Tanjungsari (kini SMK-PPN Tanjungsari) pun hingga kini bisa terus dimanfaatkan untuk mencetak generasi muda yang handal. Dan masih banyak jasa beliau yang patut diapresiasi setinggi-tingginya.

Secara kriteria, terutama perjuangan beliau yang menasional, beliau layak dijadikan sebagai pahlawan nasional. Namun, pengakuan sebagai pahlawan tidak hanya berdasarkan kriteria saja. Sebab, keputusan berada di tangan pemerintah. Oleh karenanya, lobby politik sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut.

Meng-create Pemimpin Masa Depan

Terlepas dari jadi atau tidaknya Pangeran Aria Suria Atmadja dikukuhkan sebagai pahlawan nasional, terpenting, teladan beliau harus mengakar dalam hati dan pikiran orang Sumedang.Spirit perjuangannya harus menjadi daya dorong kita untuk tetap berkarya bagi kota yang dulu pernah dijuluki Paradijs van Java ini.

Sejarah mencatat, kekuasaan Sumedang (saat itu Sumedang Larang) pada periode 1579-1610 era Prabu Geusan Ulun meliputi seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten, Jayakarta dan Cirebon. Kejayaan yang tak bisa disangkal. Sumedang pernah Berjaya, dan kelak akan merengkuh  kembali kejayaannya.

Cita-cita tersebut bukan merupakan isapan jempol semata. Cita-cita yang harus diperjuangkan oleh setiap orang Sumedang. Tentu dengan konteks kekinian yang tak lagi bicara soal perebutan wilayah kekuasaan. Tetapi lebih kepada bagaimana membangun wilayahnya untuk menjadi semakin maju. Masyarakatnya berwawasan global, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kelokalan.

Dibutuhkan sosok pemimpin yang memiliki cita-cita yang dengannya masyarakat bisa ikut bergerak bersama. Ikut turun tangan beriuran tenaga, pikiran, maupun waktu. Yang dengannya masyarakat rela tidak dibayar dengan uang. Bukan karena masyarakat bernilai, tetapi justru karena perjuangannya tak ternilai dan tak bisa diuangkan.

Kalau hidup berawal dari mimpi, maka mengembalikan kejayaan Sumedang pun demikian. Semestinya diawali dengan mimpi. Mimpi-mimpi pemimpin yang menginginkan Sumedang semakin maju. Mimpi pemimpin yang virusnya disebarkan kepada setiap yang dipimpinnya. Agar mereka tak hanya beriuran angan, tetapi bergerak dan bergerak demi mewujudkan impian-impian tersebut.

Menjadi pemimpin itu harus pula menjadi seorang pemimpi. Mimpi itu gratis. Maka jangan pernah batasi mimpi-mimpi itu. Beda kata pemimpin dan pemimpi itu ada pada huruf ‘n’. Dan ‘n’ ini yang justru menjadi penentunya. ‘n’ bisa dimaknai sebagai inisial dari kata “nyali”.

Pemimpin-pemimpin ke depan harus memiliki nyali sekuat baja bahkan lebih dari itu. Untuk memperjuangkan hak-hak rakyatnya. Saat ini, jumlah penduduk Sumedang sekitar 1,2 juta jiwa. Jumlah yang tidak sedikit dan harus diperjuangkan.  Sumedang butuh pemimpin yang lahir dari rakyat, dekat dengan rakyat, dan kecintaannya kepada rakyat tak perlu lagi diragukan.

Saya yakin, sudah sangat banyak ibu-ibu yang melahirkan calon-calon pemimpin hebat. Tapi tak bisa hanya sampai di situ. Pengkreasian pemimpin harus pula didukung dengan lingkungan yang menunjang. Kalau ada alasan, lingkungan sudah tidak lagi bisa menunjangnya, maka ciptakan lingkungan itu.

Jika lingkungan diibaratkan sebagai sebuah kompor untuk menjaga api tetap menyala demi pengkreasian pemimpin. Maka jangan hanya menunggu disediakan kompor. Kita harus membuat kompor itu untuk kemudian menjadi pemantik bagi nyalanya api. Agar di kemudian hari lahir pemimpin-pemimpin hebat Sumedang yang membangun daerahnya mengembalikan kejayaan di masa lalu.

Pemain hebat tidak hanya datang dari bakat terpendam dalam dirinya. Tetapi juga didukung oleh pelatih dan lingkungan tempat berlatihnya. Cristiano Ronaldo tidak akan menjadi pemain terbaik dunia jika sebelumnya tidak dilantarankan bertemu pelatih sekaliber Sir Alex Ferguson. Begitu pula pemimpin, ia tidak akan hebat hanya karena dirinya sendiri. Tapi juga karena dukungan-dukungan dari factor lainnya. Termasuk lingkungan yang mengkreasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun