Mohon tunggu...
Humaniora

Belajar dari Masa Lalu, Mengkreasi (Pemimpin) Masa Depan

28 Mei 2015   07:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:31 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Secara kriteria, terutama perjuangan beliau yang menasional, beliau layak dijadikan sebagai pahlawan nasional. Namun, pengakuan sebagai pahlawan tidak hanya berdasarkan kriteria saja. Sebab, keputusan berada di tangan pemerintah. Oleh karenanya, lobby politik sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut.

Meng-create Pemimpin Masa Depan

Terlepas dari jadi atau tidaknya Pangeran Aria Suria Atmadja dikukuhkan sebagai pahlawan nasional, terpenting, teladan beliau harus mengakar dalam hati dan pikiran orang Sumedang.Spirit perjuangannya harus menjadi daya dorong kita untuk tetap berkarya bagi kota yang dulu pernah dijuluki Paradijs van Java ini.

Sejarah mencatat, kekuasaan Sumedang (saat itu Sumedang Larang) pada periode 1579-1610 era Prabu Geusan Ulun meliputi seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten, Jayakarta dan Cirebon. Kejayaan yang tak bisa disangkal. Sumedang pernah Berjaya, dan kelak akan merengkuh  kembali kejayaannya.

Cita-cita tersebut bukan merupakan isapan jempol semata. Cita-cita yang harus diperjuangkan oleh setiap orang Sumedang. Tentu dengan konteks kekinian yang tak lagi bicara soal perebutan wilayah kekuasaan. Tetapi lebih kepada bagaimana membangun wilayahnya untuk menjadi semakin maju. Masyarakatnya berwawasan global, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kelokalan.

Dibutuhkan sosok pemimpin yang memiliki cita-cita yang dengannya masyarakat bisa ikut bergerak bersama. Ikut turun tangan beriuran tenaga, pikiran, maupun waktu. Yang dengannya masyarakat rela tidak dibayar dengan uang. Bukan karena masyarakat bernilai, tetapi justru karena perjuangannya tak ternilai dan tak bisa diuangkan.

Kalau hidup berawal dari mimpi, maka mengembalikan kejayaan Sumedang pun demikian. Semestinya diawali dengan mimpi. Mimpi-mimpi pemimpin yang menginginkan Sumedang semakin maju. Mimpi pemimpin yang virusnya disebarkan kepada setiap yang dipimpinnya. Agar mereka tak hanya beriuran angan, tetapi bergerak dan bergerak demi mewujudkan impian-impian tersebut.

Menjadi pemimpin itu harus pula menjadi seorang pemimpi. Mimpi itu gratis. Maka jangan pernah batasi mimpi-mimpi itu. Beda kata pemimpin dan pemimpi itu ada pada huruf ‘n’. Dan ‘n’ ini yang justru menjadi penentunya. ‘n’ bisa dimaknai sebagai inisial dari kata “nyali”.

Pemimpin-pemimpin ke depan harus memiliki nyali sekuat baja bahkan lebih dari itu. Untuk memperjuangkan hak-hak rakyatnya. Saat ini, jumlah penduduk Sumedang sekitar 1,2 juta jiwa. Jumlah yang tidak sedikit dan harus diperjuangkan.  Sumedang butuh pemimpin yang lahir dari rakyat, dekat dengan rakyat, dan kecintaannya kepada rakyat tak perlu lagi diragukan.

Saya yakin, sudah sangat banyak ibu-ibu yang melahirkan calon-calon pemimpin hebat. Tapi tak bisa hanya sampai di situ. Pengkreasian pemimpin harus pula didukung dengan lingkungan yang menunjang. Kalau ada alasan, lingkungan sudah tidak lagi bisa menunjangnya, maka ciptakan lingkungan itu.

Jika lingkungan diibaratkan sebagai sebuah kompor untuk menjaga api tetap menyala demi pengkreasian pemimpin. Maka jangan hanya menunggu disediakan kompor. Kita harus membuat kompor itu untuk kemudian menjadi pemantik bagi nyalanya api. Agar di kemudian hari lahir pemimpin-pemimpin hebat Sumedang yang membangun daerahnya mengembalikan kejayaan di masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun