Dalam keramaian dan riuhnya euforia yang seakan menggema di seluruh penjuru ruang, di tengah gegap gempita langkah-langkah yang berpacu menuju gemilang, terselip satu jiwa yang memilih diam. Diam bukan karena tak mampu bersuara, namun karena terlalu banyak suara yang menenggelamkan harapannya sendiri. Ia menyimpan bara kecil dalam dadanya-api ilusi yang sempat padam, namun perlahan kembali menyala, mencoba hidup di tengah gelapnya keraguan.
Ucapan selamat berseliweran bagai daun gugur yang dibawa angin, namun entah mengapa yang sampai ke telinganya justru hanya kutukan, hanya celaan yang menghunjam lebih dalam dari sekadar luka. Ia duduk di tengah keramaian namun merasa asing, seolah  tersesat dalam dunia yang tak dikenal, di tempat yang dulu  kira rumah yang nyaman dan memberi ketenangan. Tapi jalan pulang pun tampak samar, seperti kabut pekat yang menelan arah. Ia pun hanya bisa menjadi seorang bisu yang dipaksa kuat, menahan derasnya air mata yang seakan menari di pelupuk, menunggu izin untuk jatuh.
Menjadi benalu dari bahagia orang lain bukanlah keinginannya. Ia hanya terlalu naif, terlalu percaya bahwa cerita yang telah dirangkai dengan penuh harap akan berujung indah seperti yang sering diceritakan dongeng. Bahwa teori yang ia susun rapi akan mengantar pada bab akhir yang penuh senyum dan peluk kemenangan.
Tapi perjuangan, sejatinya adalah penantian panjang yang ditemani kehampaan. Ia adalah jalan sunyi yang dipenuhi harapan, namun juga luka. Posisi yang disusun sedemikian rupa agar takdir terlihat indah di atas kertas, seringkali hanya menjadi lelucon semesta. Ya Tu(h)an, Engkau memang sering bercanda, terutama pada mereka yang memohon terlalu banyak, yang berharap terlalu tinggi, seakan langit bisa digenggam dengan tangan telanjang.
"Andaikan Ia mengabulkan satu permintaan ini," gumam si hamba dengan segenap keyakinan, "niscaya akan kubanggakan kedua orang tuaku, akan kupersembahkan seluruh hasil perjuanganku demi mereka."
Lalu terdengar bisikan lembut, dari langit yang jauh namun terasa dekat, "Aku tahu kau telah berjuang. Aku tahu niatmu mulia, ingin menjadi pemenang, ingin menjadi cahaya di tengah gelap. Tapi izinkan Aku menunda sedikit saja, bukan karena Aku tak peduli, tapi karena waktu terbaik belum tiba. Masih banyak yang lebih membutuhkan hari ini, sedangkan engkau, masih memiliki waktu, masih memiliki kemungkinan esok hari."
"Tapi Tu(h)an..." gumam si hamba, ingin menjelaskan lebih panjang, ingin menumpahkan semua rasa yang tertahan.
Namun bisikan itu kembali, tenang dan memotong dengan kelembutan, "Sst... nanti kau akan mengerti. Hari ini nikmati prosesmu, jangan banyak protes. Karena seringkali yang kau anggap luka adalah bentuk lain dari penjagaan. Yang kau anggap kehilangan, adalah ruang bagi sesuatu yang lebih layak datang."
Akhirnya, ia menyadari. Menerima kenyataan bukan berarti menyerah. Justru dari penerimaan itulah, terbuka jalan-jalan baru yang dulu tak terlihat. Ia belajar berpikir lebih jernih, melangkah lebih ringan, dan memeluk luka dengan penuh pengertian. Bahwa menjadi lebih baik bukan tentang siapa yang lebih dulu sampai, tapi siapa yang tetap bertahan, bahkan saat semua tampak tak pasti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI