***
"Kopi setengah, Makwo!"
Tanpa suara, perempuan paruh baya itu meracik pesanan Badri. Tak sampai dua menit, satu gelas kecil beralas piring plastik warna biru sudah terhidang.
Pagi yang dingin. Permukaan bibir gelas itu, mengeluarkan asap tipis yang melewati nampan-nampan yang berisi aneka gorengan di atas meja.
Bardi ajukan telapak tangan kanannya mengajakku bertukar salam. Kemudian memilih duduk di hadapanku.
"Kenapa ngopi lagi?"
"Saran Abang tak manjur!"
Seperti biasa, Makwo pemilik kedai kopi segera menjauh dari meja. Enggan mendengar cerita usang dan terus berulang yang meluncur dari mulut Badri.
"Mimpi lagi?"
"Iya."
"Mati lagi?"
Sesaat Badri membisu. Kemudian menganggukkan kepala.
"Malam tadi, sebuah rumah ludes terbakar, Bang. Menghanguskan seluruh penghuninya."
"Kau salah satu penghuninya?"
"Iya."
"Di mimpi itu, kejadiannya tanggal 31?"
"Entahlah!"
"Atau, nomor rumah itu 31?"
"Aku tak tahu, Bang!"
Seperti nada suaranya, wajah Badri terlihat kuyu dan putus asa.