"Tenang. Pagi ini, kau masih hidup, kan? Apalagi, di Curup tak ada kereta api."
Aku berusaha membujuk Badri dengan menyerahkan gelas berkopi milikku. Makwo yang ikut menyimak kisah Badri, berusaha menahan tawa. Tapi gagal.
"Abang tahu? Dua nomor terakhir di plat motor itu, ada angka 31!"
'Hah!"
Kejutan kedua pagi itu dari mimpi Badri.
***
"Abang masih ingat orangtua di stasiun Kertapati tempo hari?"
Badri mulai membuka cerita. Di hari kedua, setelah ulang tahun ketigapuluh satu lelaki yang menjadi temanku menikmati segelas kopi. Nyaris setiap pagi. Di kedai kopi.
Aku lupa persisnya. Mungkin tiga atau empat tahun lalu. Aku pernah mengajak Badri menemaniku mengantarkan pesanan tembakau iris ke Palembang. Usai mendengar keluhan Badri, selama hidupnya belum pernah naik kereta api.
Badri menikmati perjalanan pertama dengan kereta api itu, dari Lubuk Linggau menuju Palembang. Termasuk berfoto di jembatan Ampera yang melegenda.
Saat pulang, sambil menunggu kereta, Badri mendekati seseorang yang duduk bersila di lantai stasiun Kertapati. Lelaki tua itu mengaku sebagai peramal.
Agak samar dan lama aku berusaha mengingat sosok itu. Karena Badri tak betah menunggu, akhirnya kuanggukkan kepala.