Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Mimpi Badri

28 September 2021   15:16 Diperbarui: 28 September 2021   17:04 649 54
"Mungkin baru belajar, Bang. Jadi, gadis itu gugup ketika palang pintu kereta api tiba-tiba turun. Mesin motornya mendadak mati. Persis di tengah rel."

Badri berhenti sejenak. Meraih gelas berkopi di hadapannya. Mencecap tuntas isi gelas. Tangan kanannya mengusap sudut bibir yang ditumpangi ampas kopi, seraya melanjutkan kisahnya.

"Gadis itu tampak panik. Anehnya, selain aku, tak ada seorang pun yang bergerak. Aku langsung berlari mendekati gadis itu. Tapi aku terlambat."

Wajah Badri tertekuk murung. Agaknya tak ingin mengingat ulang tayangan mimpi malam tadi.

"Gadis itu dilindas kereta api?"

Sebuah pertanyaan bodoh terlanjur kuajukan. Agar cerita mimpi itu segera diselesaikan. Badri menatapku tajam.

"Tidak. Setelah aku mendekat, motor itu bisa kembali menyala. Gadis itu berhasil lolos dari maut."
"Oh, syukurlah!"

Akupun tiba-tiba merasa lega. Mimpi Badri hari ini, tidak berakhir tragis. Kureguk isi gelasku sambil menatap Badri.

"Tapi aku yang mati, Bang!"
"Hah?"
"Saat kereta api mendekat, sandalku tersangkut besi penahan rel kereta. Aku terjatuh. Dan..."

Badri bungkam. Tak ingin menyelesaikan kalimatnya. Aku menghirup nafas dalam. Terkejut pada akhir tak terduga dari kisah Badri. Walau itu sebatas mimpi.

"Tenang. Pagi ini, kau masih hidup, kan? Apalagi, di Curup tak ada kereta api."

Aku berusaha membujuk Badri dengan menyerahkan gelas berkopi milikku. Makwo yang ikut menyimak kisah Badri, berusaha menahan tawa. Tapi gagal.

"Abang tahu? Dua nomor terakhir di plat motor itu, ada angka 31!"
'Hah!"

Kejutan kedua pagi itu dari mimpi Badri.

***

"Abang masih ingat orangtua di stasiun Kertapati tempo hari?"

Badri mulai membuka cerita. Di hari kedua, setelah ulang tahun ketigapuluh satu lelaki yang menjadi temanku menikmati segelas kopi. Nyaris setiap pagi. Di kedai kopi.

Aku lupa persisnya. Mungkin tiga atau empat tahun lalu. Aku pernah mengajak Badri menemaniku mengantarkan pesanan tembakau iris ke Palembang. Usai mendengar keluhan Badri, selama hidupnya belum pernah naik kereta api.

Badri menikmati perjalanan pertama dengan kereta api itu, dari Lubuk Linggau menuju Palembang. Termasuk berfoto di jembatan Ampera yang melegenda.

Saat pulang, sambil menunggu kereta, Badri mendekati seseorang yang duduk bersila di lantai stasiun Kertapati. Lelaki tua itu mengaku sebagai peramal.

Agak samar dan lama aku berusaha mengingat sosok itu. Karena Badri tak betah menunggu, akhirnya kuanggukkan kepala.

"Malam tadi. Aku bertemu lagi dengan lelaki itu. Dalam mimpi. Dia memintaku menghindari angka 31?"
"Kukira, biar tanggal gajianmu lebih cepat!"
"Tapi lelaki itu menyebut tentang mati muda, Bang!"

Suara Badri terdengar lebih keras, kemudian memilih diam, usai matanya menatap mataku. Dan mengerti, tanpa suara, aku memintanya menghentikan cerita tentang ramalan lelaki tua di stasiun Kertapati itu. Tiga atau empat tahun yang lalu.

"Sehari, kau ngopi berapa kali?"

Pertanyaan tak penting kuajukan. Sekadar mengambil alih alur pembicaraan pagi itu.

"Tergantung, Bang! Minimal tiga kali!"
"Tidurmu jam berapa?"
"Biasanya, di atas jam duabelas!"
"Coba hentikan minum kopi. Ganti dengan teh manis."
"Hah?"
"Coba dulu sehari ini! Siapa tahu mimpimu juga berganti"

***

Sebagian orang memaknai, memasuki usia di angka tigapuluh satu, adalah hal biasa. Sebab, usia hanya persoalan angka-angka belaka.

Sebagian yang lain percaya, pada usia tigapuluhan adalah puncak energi yang harus digunakan secara maksimal. Agar kehidupan di masa depan bisa dijalani secara normal.

Apalagi bagi seorang laki-laki. Mesti bersiap diri untuk merengkuh tanggung jawab, jika berusia kepala tiga sudah menikah, atau nanti  memiliki istri dan anak. Namun, hal berbeda dialami Bardi.

Aku berusaha mengingat-ingat. Apakah setelah hari ulang tahun ke tigapuluh satu, aku seperti Badri?

Bermimpi. Dan, mati dalam mimpi.

***

"Kopi setengah, Makwo!"

Tanpa suara, perempuan paruh baya itu meracik pesanan Badri. Tak sampai dua menit, satu gelas kecil beralas piring plastik warna biru sudah terhidang.

Pagi yang dingin. Permukaan bibir gelas itu, mengeluarkan asap tipis yang melewati nampan-nampan yang berisi aneka gorengan di atas meja.

Bardi ajukan telapak tangan kanannya mengajakku bertukar salam. Kemudian memilih duduk di hadapanku.

"Kenapa ngopi lagi?"
"Saran Abang tak manjur!"

Seperti biasa, Makwo pemilik kedai kopi segera menjauh dari meja. Enggan mendengar cerita usang dan terus berulang yang meluncur dari mulut Badri.

"Mimpi lagi?"
"Iya."
"Mati lagi?"

Sesaat Badri membisu. Kemudian menganggukkan kepala.

"Malam tadi, sebuah rumah ludes terbakar, Bang. Menghanguskan seluruh penghuninya."
"Kau salah satu penghuninya?"
"Iya."
"Di mimpi itu, kejadiannya tanggal 31?"
"Entahlah!"
"Atau, nomor rumah itu 31?"
"Aku tak tahu, Bang!"

Seperti nada suaranya, wajah Badri terlihat kuyu dan putus asa.

"Kalau begitu, mimpimu..."
"Hari ini, aku sudah tiga hari memasuki usia 31, Bang!"

Pagi itu. Pada hari ketiga, setelah hari ulang tahun ke tigapuluh satu. Badri kembali mati. Dalam mimpi.

***

"Berhentilah minum kopi!"
"Terus? Minum teh manis lagi?"
"Bukan!"
"Jadi?"
"Kukira, sudah saatnya kau cari teteh yang manis!"

Curup, 28.09.2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun