"Malam tadi. Aku bertemu lagi dengan lelaki itu. Dalam mimpi. Dia memintaku menghindari angka 31?"
"Kukira, biar tanggal gajianmu lebih cepat!"
"Tapi lelaki itu menyebut tentang mati muda, Bang!"
Suara Badri terdengar lebih keras, kemudian memilih diam, usai matanya menatap mataku. Dan mengerti, tanpa suara, aku memintanya menghentikan cerita tentang ramalan lelaki tua di stasiun Kertapati itu. Tiga atau empat tahun yang lalu.
"Sehari, kau ngopi berapa kali?"
Pertanyaan tak penting kuajukan. Sekadar mengambil alih alur pembicaraan pagi itu.
"Tergantung, Bang! Minimal tiga kali!"
"Tidurmu jam berapa?"
"Biasanya, di atas jam duabelas!"
"Coba hentikan minum kopi. Ganti dengan teh manis."
"Hah?"
"Coba dulu sehari ini! Siapa tahu mimpimu juga berganti"
***
Sebagian orang memaknai, memasuki usia di angka tigapuluh satu, adalah hal biasa. Sebab, usia hanya persoalan angka-angka belaka.
Sebagian yang lain percaya, pada usia tigapuluhan adalah puncak energi yang harus digunakan secara maksimal. Agar kehidupan di masa depan bisa dijalani secara normal.
Apalagi bagi seorang laki-laki. Mesti bersiap diri untuk merengkuh tanggung jawab, jika berusia kepala tiga sudah menikah, atau nanti  memiliki istri dan anak. Namun, hal berbeda dialami Bardi.
Aku berusaha mengingat-ingat. Apakah setelah hari ulang tahun ke tigapuluh satu, aku seperti Badri?
Bermimpi. Dan, mati dalam mimpi.