Terdengar teriakan Engkong sambil tertawa saat menyambutku di depan pintu. Tak bersuara, kuserahkan sepasang bebek yang masih menyatu dalam ikatan tali rafia.
"Sebelum memiliki puluhan ekor sapi, dulu, ayahnya Engkong memulai dengan sepasang bebek, kan?"
"Tapi, aku bukan ayahku, Nak!"
Nak, panggilan Enkong untukku. Sapaan itu membuatku, kembali merasakan keberadaan sosok ayah. Bilang ibu, Engkong sering dianggap saudara kembar ayahku. Hanya wajah dan tubuh. Tapi, umur Ayah tak bernasib kembar. Â
Ayah dinyatakan hilang di hutan Kalimantan, ketika bertugas sebagai relawan menjalankan penelitian habitat asli orang utan. Ibuku menyusul kepergian ayah. Sehari sebelum aku diwisuda sebagai sarjana pertanian. Bukan sarjana kehutanan seperti Ayah.
"Apa makanan khusus bebek?"
Pertanyaan tiba-tiba Engkong mengusikku. Pemilik pertanyaan itu tak menunggu jawabanku. Tangannya tampak kesulitan melepaskan tali rafia yang mengikat erat sayap sepasang bebek itu.
"Kau ikat dengan simpul mati? Coba kau lepaskan. Biar aku ambil sisa nasi!"
Engkong berlalu ke dapur. Aku meraih korek api di saku celanaku. Dan tertawa, saat pukulan pelan engkong mendarat di bahuku.
***
Tak ada yang keberatan dengan keberadaan sepasang bebek itu di gang sapi. Mungkin, karena bebek itu milik Engkong yang dianggap sesepuh. Atau karena hanya sepasang, sehingga warga memilih membiarkan.