Tak tersirat kekecewaan di mata ibu. Kecuali segaris senyuman yang kulihat terburu menghilang di balik pintu.
Aku tertatih memburu masa depanku. Lagi, kalimat ibu membakar api cemburuku. Padamu.
"Ayahmu pasti bangga padamu!"
**
Maafkanlah. Jika aku menulis tentang air mata.
Aku tak akan menulis perjalanan air mata. Sebab, ia bukan seperti butiran hujan. Dari langit, berjatuhan tanpa memiliki pilihan. Dan, tanpa sekali pun mereguk rasa sakit.
Tak jua menempuh jarak dari kejauhan. Melintasi pegunungan, menyusuri lereng terjal di kedalaman rimba tak bertuan. Kemudian berhimpun dalam aliran-aliran sungai dan danau. Hingga bermuara di samudera tak bernama.
Air mata milikku, bukan untukmu. Tapi untuk ibu.
Sekatnya begitu dekat. Sedalam perjalanan dari lubuk rasa di hatiku, yang singgah pada kedua sudut mataku. Tak perlu lelah menghitung barisan angka-angka yang menghadirkan resah. Untuk satu kisah perpisahan. Sebuah kisah kepergian. Seorang ibu.
Sejak mengenal wajahmu, di selembar foto yang terpasang di ruang tamu. Aku terlatih menyimpan air mataku. Sebab, air mata ibu cukup untuk mewakilkan rasaku padamu. Namun, aku mengingat pesan ibu. Sebelum mengakhiri perjalanan panjang menantimu.
"Doakan ayahmu!"