Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Angpau Ko Chen

12 Februari 2021   18:33 Diperbarui: 12 Februari 2021   19:21 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Angpau (sumber gambar: https://www.kompas.com/tren)

Mataku menatap jarum pendek yang sesaat mengikat jarum panjang pada angka delapan. Tak ada suara riuh di luar kamar. Apakah hari libur, membuat semua aktivitas ikutan libur?

"Yuhuuu..."

Ari membuka pintu kamar. Tangannya mengibaskan benda kecil berwarna merah. Kemudian menghilang dari mataku. Angpau! Aku bangkit dari ranjang. Berlari mengejar Ari keluar kamar.

"Dari Ko Chen, kan? Kenapa aku..."

"Iya. Ibu yang ngajak!"

Ari masuk ke kamarnya. Aku berjalan pelan ke dapur. Ibu lagi mengiris lontong, saat kupeluk dari belakang. Sosok tak tergantikan.

"Lontong Ci An?"

"Jam enam tadi diantar. Makanya, barusan Ibu ajak Ari ke sebelah. Nanti kalau sudah menikah, jangan bangun siang lagi! Ibu bakal malu, dianggap tak bisa mengajari anak gadis!"

Ajuan protes pada ibu, karena tak diajak ke rumah Ko Chen langsung menghilang. Semakin dekat hari pernikahan, omelan ibu seperti senapan serbu dengan persediaan peluru tak terbatas. Kalimat "harus begini dan jangan begitu", tak henti meluncur.

"Ko Chen tadi nanyain kamu."

Aku tersenyum. Bergegas ke kamar mandi. Bukan lagi ingin merasakan lontong istimewa buatan Ci An. Tapi, keinginan untuk menjumpai Ko Chen.

***

Rumah Ko Chen dan Ci An tepat bersebelahan dengan rumahku. Sapaan itu, sebenarnya tak cocok bagiku. Sebab usia keduanya hampir delapan puluh tahun. Ko Chen berusia tujuh puluh delapan, Ci An lebih muda dua tahun. Tapi semua orang menggunakan sapaan itu.

Menurut cerita ibu, dulu, Ko Chen penjual mi pangsit yang sangat terkenal. Pelanggan harus sabar menunggu, sebab hanya buka dua jam. Dari pukul enam sampai pukul delapan pagi. Uniknya, mi pangsit Ko Chen hanya bisa dibeli dalam bungkusan.

"Kasihan Ci An!"

Hanya itu alasan Ko Chen, jika ada pelanggan yang menyarankan, agar mi pangsitnya bisa langsung dinikmati di tempat. Saat SMP, aku mengerti Ko Chen menggunakan alasan itu. Keberadaan tujuh orang anak, tentu saja membuat repot Ci An sebagai seorang ibu.

"Dia seumurmu. Tapi, tak akan secantikmu! Mungkin cerewet seperti Ci An!"

Itu adalah cara Ko Chen mengenang si bungsu. Aku juga tahu dari ibu. Sebelum pindah ke rumah sebelah, Ko Chen mendapat musibah. Rumahnya terbakar, persis di malam tahun baru Imlek. Malam itu, Ko Chen kehilangan anak perempuan satu-satunya.

Sejak peristiwa itu, Ko Chen tak lagi berjualan mi pangsit. Tapi mengolah sayur sawi kering. Aku menyebutnya sayur pahit. Sebab sayur sawi itu dijemur dengan sinar matahari. Hingga warnanya kecoklatan cenderung hitam dengan aroma menyengat yang khas.

Karena keramahan dan kebaikan Ko Chen dan Ci An, tak satupun tetangga yang merasa terganggu dengan aroma itu. Bahkan merasa terbantu, sebab bisa bekerja pada Ko Chen. Termasuk almarhum ayahku.

Setiap sore, tanpa diminta, anak-anak juga akan berebutan membantu mengangkat sayur yang dijemur. Sebab, Ko Chen biasanya akan menghadiahkan permen pada semua anak.

"Mentang-mentang anak Ko Chen!"

Acapkali kudengar Ari mengadu pada ibu. Jika aku memamerkan permen bagianku yang pasti lebih banyak dari Ari kakakku. Aduan itu akan terhenti, saat Imlek. Jumlah uang di dalam angpau selalu sama. Dan selalu berjumlah genap.

"Isi angpau itu biasanya memang genap! Jumlah ganjil untuk kematian!"

"Oh!"

"Atau jika kau menikah, angpau akan berjumlah ganjil. Alasannya, biar cintamu tak terbagi!"

Aku tertawa mendengar penjelasan Ari. Bagiku, yang penting setiap tahun, mendapat angpau dari Ko Chen.

***

"Ko Chen hanya mengingat nama si bungsu dan namamu"

Itu kalimat ibu, saat memintaku untuk menemui Ko Chen. Walau sebentar kuikuti saran ibu. Jika datang, aku akan duduk di tepi ranjang. Ko Chen memegang tanganku, sambil mendengar cerita Ci An tentang enam anak lelakinya, enam menantu serta duapuluh satu cucu.

***

"Pasti mau minta angpau, kan?"

Ari menggodaku, karena berpakaian rapi. Kuajukan kepalan tanganku ke Ari yang tertawa. Sebelum ke rumah Ko Chen, Ibu memintaku sekalian mengembalikan wadah lontong yang pagi tadi diantarkan Ci An.

"Wah! Akhirnya calon pengantin datang!"

Ci An menyongsong kedatanganku. Kusalami tangan Ci An, sambil berucap semoga tetap sehat dan bahagia di tahun baru. Ci An Memelukku lama. Sebelum menarik tanganku ke kamar menemui Ko Chen.

Terbata, bibir Ko Chen menyebut namaku. Enam bulan, tubuh tua itu terus terbaring di ranjang. Sejak sakit, Ko Chen tak lagi bercerita. Jkapun bersuara, itu hanya kepada Ci An. Bergantian anaknya datang dan pergi. Hanya untuk melihat Ko Chen yang membisu.

Aku memilih duduk di tempat biasa, di tepi ranjang. Ko Chen segera menyentuh tanganku. Tak lagi menggenggam, tapi mengusap pelan. Ruang kamar itu terasa sunyi.

"Angpau..."

Terdengar suara pelan Ko Chen. Matanya mengarah pada  Ci An, yang bergegas menuju lemari, mengambil satu bungkusan plastik berwarna hitam. Kemudian menyerahannya pada Ko Chen.

Tak bersuara, Ko Chen meletakkan bungkusan itu ke tanganku. Jari telunjuk tangan kanannya mengarah padaku. Lagi, tanpa suara. Kualihkan pandangan pada Ci An.

"Angpau terakhir untukmu. Kan, seminggu lagi, akan menikah?"

Ci An menjelaskan. Aku jadi mengerti isyarat jari telunjuk itu. Aku mengingat godaan Ari, saat aku memutuskan untuk menerima lamaran Mas Anto.

"Yakin, mau menikah dengan Anto? Kalau sudah menikah, tak lagi dapat jatah angpau dari Ko Chen!"

***

"Bangun, Nak!"

Tak biasanya ibu membangunkanku. Apalagi jarum pendek pada jam yang tergantung di dinding kamarku, baru menunjukkan pukul dua dini hari.

"Kita ke sebelah, yuk?"

"Hah? Ke..."

"Ko Chen udah pergi, Nak."

Sesaat aku menatap mata ibu yang menghindar dengan memelukku. Mataku pun beralih ke meja di sudut kamar. Memandang bungkusan plastik tebal berwarna hitam. Angpau terakhir dari Ko Chen.

Tangis ibu, mengajakku mengingat kembali cerita Ci Aan siang tadi. Isi di dalam plastik hitam itu adalah tabungan Ko Chen untuk anak bungsunya. Aku.

Curup, 12.02.2021

Zaldychan

[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun