"Menurut Uda, bagaimana?"
"Mas pasti tidak..."
"Seharusnya, Bang. Kalau..."
"Ayah pernah bilang, jika..."
"Tapi, Pak! Dia sering..."
"Abah! Kenapa..."
"Lah? Kan, Kakak yang..."
Aih! Seperti tujuh lapis langit dan tujuh lapis kue lapis. Selain nama, tujuh kalimat di atas adalah tujuh kata sapaan yang kudapatkan. Di dunia nyata maupun dunia maya. Â
Belum lagi  Dek, Om atau Bro. Belum termasuk "sapaan ajaib" semisal si Gondrong, Limbad, Orang Hutan, Manusia Purba, Seniman Terlantar, Pujangga Kegelapan, bahkan Paradoksman!  Emejing, makjleb sekaligus maknyus, tah?
Apakah sapaan itu menjadi masalah? Kuanggap saja, sapaan itu mirip lem, yang tersembunyi di balik lembaran perangko! Senyap, tak terlihat namun mengikat erat sebagai perekat. Ahaay...
Jadi, kucoba merekayasa alasan-alasan munculnya sapaan itu. Hasil classter-nya, aku tulis, ya?