"Kewajibanku menyelesaikan naskah. Tentang revisi? Sudah beberapa kali, kan?"
Kau terdiam. Menulis adalah caraku bertahan, agar setiap hari bisa melihat matahari. Pun dari menulis, aku mengenal dan namaku dikenal orang-orang. Termasuk, menaklukkan jalan terjal yang harus kutempuh, jika ingin memilikimu.
"Aku hanya meminta sesuai nilai kontrak. Sisanya..."
"Kita tidur, yuk?"
Kali ini aku yang terdiam. Pelan, kau anggukkan kepalamu. Aku tahu, kau tak lagi ingin aku bicara. Tanganmu meraih tangan kiriku. Perlahan mengikuti gerak tanganmu mengusap perutmu.
"Mas masih bisa menulis di koran, kan?"
***
Aku menyaksikan merah darah yang mengalir di sela kakimu. Berjuang menjadi seorang ibu. Akupun melihat kecemasan di wajahmu. Saat aku pamit meninggalkanmu pagi itu.
Tak sendiri. Namun bersama bayi berusia sehari di pelukmu. Anakku.
Dan. Malam itu, tak akan kubiarkan kau menyaksikan genangan merah darah, dari tubuh lelaki yang menipuku. Terkapar kaku di hadapku.
Tapi, kau pasti akan mengerti. Tak ada pilihan lagi. Saat itu, aku harus membuktikan diri. Bukan sebagai lelaki. Tapi suami. Bagimu.