Hal ini sejalan dengan netron sungai di beberapa kota yang memiliki sungai besar, dengan jargon "sungaiku, halamanku". Namanya halaman depan, masa kumuh? Iya, kan?
Rumah semakin banyak, seiring penduduk yang bertambah. Transportasi sungai tak lagi cukup mengakomodir beragam aktivitas. Maka jalan-jalan banyak dibangun untuk mempermudah interaksi penduduk dengan alasan kebutuhan.
Susahnya, pertambahan penduduk, pesatnya pembangunan dan kemajuan teknologi, tak mampu menutupi kebutuhan pada lahan dan tata ruang.
Dampaknya? Kebutuhan dan perluasan lahan "menyudutkan" keberadaan sungai. Bantaran sungai, yang awalnya ruang kosong, lamat-lamat terisi dengan beragam pembangunan.
Apatah lagi, ketika jalan-jalan menjadi pilihan sebagai pusat interaksi. Aktivitas jual beli tak lagi terjadi di pinggir sungai, tapi di daratan bernama pasar. Maka, sungai tak lagi berfungsi sebagai area transportasi utama atau sebagai pusat kehidupan.
Sungai juga bukan lagi sebagai "pusat perhatian". Malah, ada kebanggaan serta kepuasan, ketika mampu mendirikan rumah menghadap ke jalan. Dan sebaliknya, merasa khawatir tinggal di sekitar sungai. Begitu, kan?
Atas nama kemajuan, luas sungai perlahan tergerus. Beragam bangunan yang didirikan di sekitar bantaran, mempersempit aliran sungai. Bedanya, sungai tak lagi menjadi halaman depan. Tapi di belakang!
Jargon "sungaiku, halamanku" tertinggal jauh terbelakang, dari lesatan pembangunan dan tumbuh kembang serta perilaku masyarakat. Nah, karena berposisi di belakang, bisa sesukanya melakukan apapun di sungai, kan?
Maka maraklahlah ditemukan tulisan-tulisan dengan huruf besar dan aneka warna, "Jangan buang sampah di sungai" atau "Dilarang buang sampah di sungai". Bahkan, beragam peraturan daerah lahir dengan aneka bentuk sanksi, baik pidana maupun denda.
Akibatnya? Pandangan dan perilaku masyarakat terhadap sungai berubah. Awalnya, interaksi dengan sungai sebagai sebuah "kesadaran bersama", berubah menjadi "ancaman bersama". Dahsyat, kan? Hiks...