Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menjadi Lelaki Itu Keharusan, sebagai Suami atau Ayah adalah Pilihan Keputusan

22 Juni 2020   21:47 Diperbarui: 23 Juni 2020   06:04 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi laki-laki memiliki peran sebagai lelaki, suami sealigus ayah dalam sebuah keluarga. (sumber gambar: pixabay.com)

Terakhir, ukuran yang paling umum berlaku, adalah ketika sudah sunat. Terserah, apatah saat menjalani prosesi itu menangis, teriak-teriak atau malah diam-diam menahan ngilu. Akan terdengar kalimat yang bikin syahdu saat itu. "Nah, ini baru laki-laki!"

Seiring bertambah usia, akan mulai menemukan batasan atau ukuran yang berlaku dalam interaksi sosial. Maka akan ditemui definisi yang rumit. Semisal, lelaki itu, tak pernah menyakiti perempuan. Lelaki itu banyak teman, lelaki itu merokok, berotot, bertato, rambut gondrong, punya kumis atau brewok dan seterusnya.

Rumit, kan? Apalagi jika ukurannya berubah-ubah tergantung tren saat itu. Sebagai lelaki Minang, aku lumayan "kenyang" dengan petuah dan ujaran yang beragam dari orangtua juga para tetua di sekitarku. Karena banyak, aku ambil benang merahnya, ya?

Pertama. Keberanian Memutuskan
Sila simak, begitu banyak teori-teori kepemimpinan dengan syarat dan spesifikasi berbeda. Sebab keberanian memutuskan itu, tak asal berani. Atau asal mengambil keputusan, tah?

Di Minang, ada kredo "Lamak diawak, katuju di urang". Maknanya, suatu keputusan tak sekedar bercermin pada kaca spion, yang terlihat hanya wajah sendiri. Namun juga menghitung dampak keputusan itu, bagi orang lain, setidaknya keluarga terdekat.

Kedua. Komitmen pada Keputusan
Setelah memutuskan, banyak yang bilang, seorang lelaki akan ditimbang berdasarkan seberapa besar komitmennya terhadap keputusan itu. Karena akan "terpantul" pada ucapan, sikap dan perilaku.

Bagiku, komitmen baru tahapan kedua! Karena lebih cenderung tak terukur parameternya. Semudah seorang lelaki berucap, "aku cinta kamu!" atau "maukah kau jadi istriku?" Dua kalimat itu baru pernyataan komitmen. Namun, perempuan butuh lebih dari itu, kan? Maka butuh rute berikutnya.

Ketiga. Konsisten dengan Komitmen
Nah ini rute terberat. Memutuskan mencintai dan berkomitmen mencintai, itu menjadi gampang. Begitu juga memutuskan menikah dan berkomitmen menikah. Itu juga menjadi mudah.

Namun, mampukah konsisten dengan komitmen mencintai atau menikahi? Sebab, konsisten adalah ukuran aktual kelaki-lakian seseorang. Apapun hasilnya, baik atau buruk mesti dihadapi dan dijalani. Pesan kakekku, "lelaki itu, berani memulai, harus menyelesaikan!"

Ilustrasi laki-laki sebagai suami. (sumber gambar : pixabay.com)
Ilustrasi laki-laki sebagai suami. (sumber gambar : pixabay.com)

Menjadi Lelaki Itu Keharusan, sebagai Suami atau Ayah adalah Pilihan Keputusan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun