Satu puisi tanpa judul berdiri di depan pintu, bukan batu, tapi layaknya tamu yang menunggu.
"Kau tak ingin bertemu?"
Tak lagi bersuara, ia memaku bisu dan sibuk mengurai kata demi kata. Tiba-tiba udara dipenuhi doa, rasa, putus asa, juga cinta. Namun rindu kukuh bersembunyi di barisan aksara, berselimut jubah malu-malu.
"Kau ingin membunuhku?"
Aku melihat airmata puisi mengalir melewati pintu, melata di lantai berdebu. Perlahan menyusup melalui buku jemari kaki nan kaku, merayap naik menelusuri sebatang tubuh beku. Dan berhenti di pipi yang membatu.
"Kau tak lagi miliki airmata?"
Pertanyaan usang yang telah lama berpulang. Pada retakan kaca jendela, kubiarkan puisi menghilang mencari jawaban. Ia pasti mengerti, diam adalah cara terbaik memahami pertanyaan.
"Andai kau tahu, tak perlu menunggu bisikan didengarkan Tuhan!"
Curup, 07.05.2020
zaldychan