Mohon tunggu...
zaki muz
zaki muz Mohon Tunggu... mahasiswa uin raden mas said

hobi menggambar, pribadi instrovert

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

otw istri solehah

13 Oktober 2025   22:26 Diperbarui: 13 Oktober 2025   22:26 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada pagi yang cerah di sebuah desa yang indah, burung-burung bernyanyi riang, matahari bersinar terang, dan orang-orang sibuk dengan rutinitas mereka---ada yang berangkat sekolah, ada yang bekerja. Namun, di sebuah rumah sederhana, Sella masih terlelap di bawah selimut tebal. Tidurnya yang pulas mendadak terusik oleh suara kambing yang mengembik di jendela terbuka.

Matanya yang masih berat oleh kantuk perlahan terbuka, diikuti tubuhnya yang bangkit malas-malasan dari ranjang. Sella melirik ke arah jam dinding yang jarumnya menunjukkan angka delapan---tanda pagi telah beranjak menuju siang. Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya, bergumam pelan, "Semalam aku udah ngerjain tugas belum, ya?"

Beberapa detik kemudian, matanya membelalak. "Loh?! Jam delapan?! Kok nggak ada yang bangunin?!" serunya panik. Tanpa pikir panjang, ia langsung melompat turun dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi untuk bersiap-siap.

Sella, adalah nama dari gadis cantik berusia 19 yang sedang menempuh pendidikan s1 jurusan bioteknologi di uin raden mas said sukarta, saat ini ia sedang berada di rumah perempuan tua yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Sella, adalah gadis ceria yang selalu tersenyum, di kondisi apapun, di saat senang maupun sedih.           

***

Suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah, begitu cepat berlarian kesana kemari, ternyata itu adalah sella yang sedang memersiap kan dirinya untuk menyambut hari. Sella yang sudah mengenakan baju rapi itu langsung menuju pintu utama. Berniat langsung segera kesana, ia malah mendapati sarapan diatas piring yang bertuliskan "sarapan dulu, jangan terlambat ya",

 Sella yang mengetahui pemilik tulisan tersebut menjadi kesal---karena tidak membangunkannya---, namun ia tetap memakan sarapan itu karena itu adalah makanan favorit nya---omelet bergaya jepang. Lalu ia membuka ponselnya yang ternyata ada pesan di aplikasi chat miliknya, tertulis--- mas iwan 6.30: "jangan terlambat ya, ini hari senin :)" , melihat pesan itu, Sella menjadi semakin kesal, namun Sella sadar bahwa sekarang sudah pukul 8.30 tanda matkul pertama hampir selesai, tidak ada waktu untuk marah.

Ia segera keluar dari rumah dan menaiki motornya. Sebelum berangkat, Sella berpamitan kepada ibunya yang sedang menyirami tanaman di halaman rumah, setelah itu  Sella segera berangkat dan menancap gas motornya dan menuju kampus. Setelah sampai di kampus, Sella pun memasuki kelas yang ternyata ia sudah sangat terlambat, mengetahui dirinya menjadi pusat perhatian, ia pun berjalan sambil malu malu menuju kursi kosong  di bagian paling belakang kelas.

Saat itu, kelas sedang diajar oleh dosen sementara --- seorang dosen muda yang baru-baru ini mulai mengajar di semester satu. Orang-orang biasa memanggilnya Mr. Choir.
Melihat wajahnya yang tampan, Sella yang sudah mengantuk justru semakin mengantuk karena pesona ketampanannya.

Sella kemudian tertidur pulas di mejanya. Ia mendapati dirinya sedang di pantai bersama mr.choir, mereka bermain air, membangun istana, dan tertawa bersama. Setelah beberapa saat, sella bangun dan ia mendapati kelas sudah kosong, semua orang telah pergi. Ia menatap sekeliling dengan bingung, lalu menoleh ke kiri---dan sontak terkejut ketika mendapati Rara, temannya, duduk di sampingnya sambil menatap geli.

"Enak ya tidur, dari tadi dibangunin susah banget. Habis mimpiin apa sih?" tanya Rara mengintimidasi.

"Ah, enggak kok... cuma ketiduran aja," jawab Sella cepat, mencoba menutupi senyum samar di wajahnya. "Ya Allah, lagi-lagi aku ketinggalan materi. Tapi gapapa deh, nanti bisa tanya Mas Iwan di rumah."

"Yaudah, ini kita jadi kerja kelompok nggak? Kayaknya si Dio udah nungguin di perpus," tanya Rara.

"Iya, maaf... tapi kamu duluan aja ya, aku masih ada perlu sedikit," balas Sella.

"Ish, yaudah deh. Tapi jangan ngilang lama-lama!" jawab Rara sambil berdiri.

Mereka pun berpisah, meninggalkan ruangan yang kini benar-benar sepi.

Ketika Sella hendak keluar kelas setelah urusannya selesai, dari arah lorong tampak Mr. Choir berjalan tergesa-gesa. Tanpa sengaja, mereka berdua sama-sama terburu-buru---

Bruk!

Tubuh mereka saling bertabrakan.
"Aduh!" seru keduanya hampir bersamaan.

Sella segera menunduk, hendak meminta maaf, namun seketika terdiam saat melihat wajah pria yang baru saja ia tabrak. "Ah, maaf, Mas---eh, maksud saya Pak---eh, bukan, Mister!" katanya gugup sambil berusaha tersenyum kikuk.

Mr. Choir hanya tertegun sesaat, lalu tersenyum tipis.
Melihat itu, wajah Sella langsung memerah. Ia menunduk dalam-dalam dan berlari menjauh sambil menutupi wajahnya.

"Hemm... dasar bocah," gumam Mr. Choir pelan, masih dengan senyum yang sulit ia sembunyikan.

Beberapa saat berlalu, Sella hanya terdiam di depan loker, masih terbayang-bayang kejadian tadi. "Ya Allah, malu banget... gimana kalau tadi ada yang lihat?" batinnya sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

Setelah beberapa detik termenung, ia tiba-tiba teringat tentang tugas kelompok. Seketika, ia bangkit dan bergegas menuju perpustakaan.

Sesampainya di sana, ia mendapati Dio dan Rara sudah duduk di sebuah meja, menunggunya dengan wajah setengah kesal.

 Mendapati dua wajah temannya yang tampak masam, Sella hanya bisa tersenyum canggung. Ia melangkah pelan mendekati meja tempat mereka duduk.

"Yee, lama banget! Dari mana aja, sih?" protes Rara dengan nada setengah kesal.

"Maafin aku, ya... beneran maaf," jawab Sella dengan nada menyesal.

Dio yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Yaudah, karena kita udah lengkap, gimana kalau langsung kerjain aja tugasnya?"

"Iya, ayo," sahut Sella cepat, mencoba menebus keterlambatannya.

Waktu pun berlalu begitu cepat. Tak terasa, jarum jam sudah menunjukkan pukul 14.25. Mereka bertiga akhirnya menyelesaikan tugas dengan lega.

"Alhamdulillah!" seru mereka bersamaan.

"Eh, tahu nggak? Ada brand lokal yang lagi terkenal banget! Katanya sih, lambangnya aja udah jadi simbol kemewahan di dunia," ujar Rara tiba-tiba, matanya berbinar penuh semangat.

"Enggak, emang kenapa?" tanya Sella santai.

"Kalian pasti kaget! Nih, lihat." Rara membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah dompet berwarna krem keemasan. Dompet itu tampak mewah, dengan logo I&S yang berkilau di bagian depan.

"Keren kan?" ucapnya dengan nada sedikit menyombongkan diri.

Sella hanya tersenyum tipis. "Biasa aja, aku di rumah juga punya kok... beberapa malah," jawabnya tenang.

"Halah, kamu ngerti apa! Ini tuh limited edition, Sel! Yaudah deh, kalau kalian nggak tahu, aku pamit dulu aja," balas Rara

"Eh, Rara, bentar deh... aku mau minta tolong boleh nggak?" ucap Sella sambil tersenyum malu.

"Tolong apa lagi nih?" tanya Rara dengan alis terangkat.

"Aku masih belum paham sama materi dari Pak Janu. Tolong ajarin dong, hehe," pinta Sella manja.

"Memang apa yang belum kamu paham?"

"Banyak, Ra... hampir semua," jawab Sella sambil nyengir.

Rara mendengus kecil. "Makanya, kalau dosen lagi jelasin tuh jangan tidur. Dengerin."

"Iya, Ra. Nggak akan aku ulangi lagi, deh," jawab Sella dengan nada menyesal tapi tersenyum.

"Yang bener nih?" tanya Rara, menatap curiga.

"Iya, insyaAllah," jawab Sella sambil mengangkat dua jari seperti bersumpah, membuat Rara tertawa kecil.

Jam menunjukkan pukul 14.59. Sudah setengah jam berlalu sejak Sella meminta Rara mengajarinya materi fisika itu. Dari tiga bab yang mereka pelajari, hanya dua paragraf yang berhasil dipahami Sella. Sisanya... seperti kabut yang lewat begitu saja di kepalanya.

Rara akhirnya menghela napas panjang. "Yaudah deh, Sel, aku udahan dulu ya. Udah waktu Ashar juga."

"Iya, Ra..." jawab Sella pelan dengan wajah kecewa.

Setelah salat Ashar, mereka kembali pada rutinitas masing-masing. Dio sudah lebih dulu pulang ke rumah neneknya sejak tiga puluh menit yang lalu. Sella pun bersiap pulang ke rumahnya di kota.

Sementara itu, Rara yang baru hendak pulang tiba-tiba menerima panggilan dari Pak Supri --- dosen Pancasila mereka. Beliau meminta bantuan di kantor fakultas. Tanpa pikir panjang, Rara pun bergegas menuju ke sana.

            Sella yang sudah tiba dirumah, langsung melepas sepatu miliknya, dan beranjak ke kamar, melihat ranjang yang begitu besar dan kosong, ia langsung merebahkan badannya, tak kuasa menahan rasa lelah dan kantuk menempel pada tubuhnya. Dan setelah beberapa saat ia pun terlelap.

            Di kantor Pak Supri, Rara duduk di depan meja yang dipenuhi tumpukan kertas ujian. Tugas yang diberikan tak begitu berat --- hanya mengoreksi beberapa lembar jawaban UTS Pancasila dari berbagai kelas.

"Rara, Bapak ke kamar mandi sebentar ya. Kamu lanjutkan dulu koreksinya," ujar Pak Supri sambil beranjak dari kursinya.

"Baik, Pak," jawab Rara sambil tersenyum singkat.

Saat tangannya sibuk membolak-balik kertas, pandangannya tanpa sengaja tertuju pada sebuah komputer di meja sebelah --- layar monitornya masih menyala. Di pojok layar, ia melihat nama pengguna bertuliskan "mr.choir".

Alis Rara langsung berkerut. "Mr. Choir?" gumamnya dalam hati. "Bukankah beliau dosen Bahasa Inggris? Kenapa namanya ada di komputer Pak Supri?"

Tanpa sadar, rasa penasaran mendorong langkahnya mendekat.

Karena rasa penasaran yang terus menggelitik, Rara akhirnya melangkah mendekati komputer itu. Tangannya ragu-ragu, tapi akhirnya menekan mouse dan membuka beberapa berkas di layar.

"Hmm... data pribadi, ya?" gumamnya pelan, matanya menelusuri tulisan yang tertera di sana. Rara menggulir layar perlahan, mencoba menahan senyum iseng. "Apakah beliau sudah menikah? Siapa tahu... aku masih punya kesempatan?" bisiknya, separuh bercanda, separuh berharap.

Namun begitu matanya menemukan kolom status pernikahan, senyumnya langsung memudar.

"Oh... astaga," ucapnya lirih. "Ternyata beliau sudah punya istri."

Ia terdiam sejenak, menatap layar kosong. "Tapi... aku jadi kasihan sama Sella," lanjutnya pelan. "Dia kan suka banget sama Mr. Choir..."

            Jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Sella yang sejak tadi tertidur pulas akhirnya terbangun, matanya masih berat dan rambutnya sedikit berantakan. Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas, lalu mengambil beberapa bahan masakan. Dengan langkah pelan, ia menyalakan kompor dan mulai memasak.

Beberapa saat kemudian, aroma masakan hangat memenuhi dapur kecil itu. Sella tersenyum tipis, lalu duduk di kursi sambil menatap hidangan di depannya. Ia meraih ponselnya dan membuka notifikasi.

Dari Mas Iwan, 17.29:
 "Dik, kayaknya mas bakal pulang malam deh. Soalnya ada klien mendadak. Maaf ya, jangan takut di rumah sendirian. Banyakin ngaji, ya."

Sella menatap layar itu lama. Senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh rasa kesal dan sedikit kecewa. Nafsu makannya lenyap begitu saja.

"Selalu saja begitu..." gumamnya lirih. Ia menatap jendela dapur yang mulai gelap. Langit magrib menggantung di luar, dan rasa takut perlahan merayap --- ia tak suka sendirian saat waktu itu tiba.

***

Suara langkah kaki terdengar dari arah lorong. Rara segera menutup berkas dan mengembalikan tampilan komputer seperti semula, jantungnya berdegup cepat. Tak lama kemudian, Pak Supri muncul dari kamar mandi sambil mengelap tangannya dengan tisu.

"Pak, ini sudah saya koreksi," ucap Rara cepat, mencoba terlihat tenang.

"Oh iya, terima kasih ya, Rara," jawab Pak Supri sambil tersenyum.

"Iya, Pak... tapi saya mau tanya sesuatu, boleh?"

"Boleh, mau tanya apa, Mbak?"

"Apa Bapak tahu tentang Mr. Choir?" tanya Rara pelan, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.

Pak Supri mengangguk. "Iya, tentu. Kalau Mbaknya belum tahu, Mr. Choir itu bukan hanya dosen, tapi juga CEO dari perusahaan brand terkenal. Cuma, nama perusahaannya saya agak lupa..."

"Tunggu, Pak---apa namanya I&S?" sela Rara cepat.

"Nah, iya, itu! I&S. Katanya, nama itu terinspirasi dari nama beliau dan nama istrinya yang sangat beliau cintai."

Rara tertegun. Astaga... beliau masih muda, sudah jadi dosen, dan CEO perusahaan bergengsi? pikirnya. Ya Allah, nggak kebayang secantik apa istrinya. Pantas saja Sella tergila-gila...

            Di sisi lain, Mr. Choir sedang dalam perjalanan pulang dengan mobilnya. Di balik kemudi, pikirannya melayang pada sosok istrinya.
"Istriku masak apa, ya? Udah nggak sabar pengin makan masakannya," gumamnya sambil tersenyum kecil. Namun, senyum itu perlahan memudar saat matanya melirik jam di dashboard.
"Astaga, sudah jam tujuh! Dia pasti ngambek lagi..."

Tanpa pikir panjang, ia menekan pedal gas sedikit lebih dalam. Lampu-lampu jalan berkelebat di kaca depan, seolah ikut terburu oleh waktu.

Beberapa menit kemudian, mobilnya berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya modern dengan tiga lantai yang menjulang anggun. Rumah itu tampak hangat diterangi cahaya lampu kuning lembut---tempat yang selalu membuatnya ingin cepat pulang, tak peduli seberapa melelahkan hari itu.

Setelah melewati gerbang, ia berjalan menuju pintu rumah dan membukanya. Di sana, berdirilah seorang wanita dengan wajah masam dan tangan bersilang di dada.
"Assalamualaikum, Dik. Mas pulang," ucapnya lembut.

Sella hanya diam, menatapnya dengan pandangan kesal.
"Dik, maaf ya... tadi ada klien penting. Bahkan rapat sore tadi Mas batalin demi kamu," ujarnya sambil mengelus pipi istrinya itu.

Sella yang tadinya kesal akhirnya memeluknya, meski tetap cemberut.
"Kok lama banget sih, aku udah nungguin dari tadi. Makanannya juga udah dingin. Aku takut tahu sendirian di rumah."
"Iya, maafin Mas ya," ucap Iwan sembari mengelus kepala Sella lembut.

"Lagian, kenapa tadi aku nggak dibangunin? Aku jadi telat, terus pas di kelas malah tidur dibiarin aja!" protes Sella.
"Iya, soalnya muka kamu lucu pas tidur, hehe," jawab Iwan sambil terkekeh.
"Hish, Mas... bisa aja lho kamu ini," jawab Sella sambil tersenyum malu.

"Ya udah, yuk makan," ajak Iwan.
"Tapi makanannya udah dingin," kata Sella.
"Nggak apa-apa, kalau kamu yang masak, panas atau dingin sama aja," jawab Iwan dengan senyum hangat.
"Mas..."
"Sama-sama enak maksudnya," tambahnya cepat, membuat Sella terkikik kecil.

Malam itu, mereka makan bersama. Bercanda, tertawa, dan menikmati waktu berdua setelah hari yang panjang. Sesekali suasana berubah tenang ketika Sella mulai membuka buku, mempelajari materi kuliah yang tertinggal.

Iwan menatapnya dari kejauhan, tersenyum.
Sella yang dulu ia kenal sebagai mahasiswi cerdas dan ceroboh itu kini menjadi wanita yang ia sayangi sepenuh hati.

Di meja makan, terletak dua cangkir teh dengan huruf timbul di permukaannya:
"I & S" --- Iwan & Sella.

Dan di situlah rahasianya terungkap ---
Ternyata Mr. Choir, dosen muda yang diam-diam dikagumi Sella,
adalah suaminya sendiri.

Dan apa yang dilihat sella saat tidur di kelas itu bukanlah mimpi,

melainkan kenangan.

Tamat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun