Ia tampak kuat, tak banyak menuntut, dan jarang mengeluh. Tapi di balik ketegaran itu, ada luka yang tak pernah benar-benar sembuh, luka karena tak pernah merasakan kasih seorang ayah.
Luka itu tidak selalu tampak di permukaan, namun berdiam di ruang batin paling dalam, membentuk cara seorang perempuan mencintai, merasa aman, dan memandang dirinya sendiri.
Bagi para suami yang memiliki istri fatherless, memahami luka itu bukanlah kelembutan berlebihan, melainkan kebutuhan. Karena di balik perempuan yang tampak mandiri dan tangguh itu, ada hati kecil yang sebetulnya hanya ingin dicintai tanpa rasa takut kehilangan.
Fenomena “Fatherless Generation” di Indonesia
Istilah fatherless menggambarkan anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah, baik secara fisik maupun emosional. Fenomena ini kian meningkat di Indonesia.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama BKKBN, sekitar 20,9 persen anak Indonesia hidup dalam kondisi fatherless, sebuah angka yang cukup tinggi di Asia Tenggara. Kondisi ini bukan semata karena perceraian atau kematian, tetapi juga akibat absennya figur ayah yang secara emosional tidak terlibat dalam pengasuhan.
Sejumlah penelitian mengungkap bahwa ketiadaan figur ayah berpengaruh signifikan terhadap perkembangan anak. Studi dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menyebut, anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah cenderung memiliki masalah kepercayaan diri, kesulitan mengatur emosi, dan kecenderungan mencari validasi dari luar diri.
Sementara penelitian UIN Datokarama Palu menunjukkan bahwa kondisi fatherless menjelaskan sekitar 16,7% variasi kesejahteraan psikologis (psychological well-being) seseorang hingga masa dewasa.
Luka yang Tak Pernah Dikenal: Mencintai dengan Kekosongan
Perempuan yang tumbuh tanpa ayah sering kali belajar hidup mandiri sejak dini. Mereka terbiasa tidak bergantung, menanggung beban sendiri, bahkan menahan tangis sendirian.