Puisi ini saya tulis sebagai bentuk dari pengekspresian kondisi hati seseorang pada sebuah fenomena kehilangan. Dimana diri mereka terkurung dalam sebuah rasa untuk kembali berjumpa, namun tak bisa karena kedua pihak tak lagi punya rasa untuk kembali. Puisi ini juga bisa menggambarkan sebuah kehilangan selamanya, dimana tak ada yang bisa dilakukan selain memendam hasrat untuk berjumpa.Â
Dering telepon tak lagi mengemis.
Terasa kosong hingga hanya tersisa tangis.
Tanya tanpa jawaban yang pasti.
Berujung bisu di kedua sisi.
Nyatanya kutunggu hingga jenuh.
Tapi tak pernah kutemui kembali.
Ku akui aku telah membisu.
Hanya tuli yang tak ku alami.
Maka sulit untuk ku awali kata.
Menyapa bahkan meminta jumpa.
Ku hanya gunakan telinga tuk tenang.
Namun tak ada satupun suara yang datang.
Berserakan semua rencana belaka.
Tercoret satu demi satu.
Hanya karena tak ada yang mengaku.
Aku tak pernah dinyatakan hilang.
Karena nyatanya aku masih duduk berpangku angan.
Dan kamu tidak pernah menyatakan pergi.
Karena telinga ini masih ingat setiap ucap.
Di antara kita hanya terisi gundah gulana.
Tertimbun ego yang terus meluap.
Mengubur niat untuk menyingkap sepi.
Membawa kita pada batas interaksi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI